Opini : Banjir Lumpur di Kemuning, Peringatan atas Keserakahan yang Mengabaikan Alam

 

Oleh: Yoseph Heriyanto, Pendiri Serikat Tani Bumi Intanpari (SERTA BUMI)

Kemuning, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, baru-baru ini dilanda bencana banjir lumpur yang mencemari permukiman, jalan, hingga sumber air bersih warga. Banjir ini dipicu oleh meluapnya Kali Soewatu akibat hujan deras yang mengguyur kawasan tersebut. Namun, persoalan ini tidak bisa semata-mata disalahkan pada cuaca ekstrem. Ada faktor lain yang lebih mendasar: campur tangan manusia yang mengabaikan keseimbangan lingkungan demi kepentingan ekonomi sesaat.

Kawasan wisata Kemuning, yang terkenal dengan keindahan Kebun Teh-nya, kini menjadi saksi nyata dari bahaya pembangunan yang tidak bertanggung jawab. Aktivitas pembangunan fasilitas wisata dan pertambangan di sekitar kawasan ini diduga kuat mengurangi daya serap tanah, mempercepat erosi, dan meningkatkan risiko bencana ekologis. Apa yang seharusnya menjadi tempat rekreasi dan penghidupan bagi masyarakat justru berubah menjadi ancaman yang nyata.

Pemerintah daerah harus segera bertindak tegas dengan menetapkan aturan zonasi yang jelas untuk melindungi lingkungan. Zonasi bukan hanya sekadar garis pada peta, tetapi instrumen penting yang mengatur keseimbangan antara pembangunan dan konservasi. Kawasan wisata harus diperlakukan dengan hati-hati, memastikan bahwa setiap langkah pembangunan tidak merusak ekosistem yang ada. Tanpa aturan tegas, alih fungsi lahan akan terus terjadi, memperburuk kerusakan yang sudah ada.

Banjir lumpur di Kemuning mengingatkan kita pada kasus serupa di wilayah lain. Di kawasan Puncak, Bogor, pembangunan vila dan resort yang tidak terkendali telah merusak daerah resapan air. Akibatnya, wilayah di hilir seperti Jakarta sering mengalami banjir parah. Hal serupa juga terjadi di Bali, di mana pembangunan hotel di area pesisir menyebabkan abrasi pantai yang signifikan, mengancam keberlangsungan ekosistem laut dan kehidupan masyarakat pesisir.

Selain regulasi yang tegas, pendekatan berbasis ekowisata perlu menjadi pedoman dalam pengembangan kawasan wisata. Ekowisata mengutamakan keseimbangan antara kebutuhan manusia dan alam, memastikan bahwa pembangunan tidak merusak keanekaragaman hayati. Konsep ini bisa menjadi solusi jangka panjang bagi Kemuning, di mana wisatawan dapat menikmati keindahan alam tanpa merusak ekosistemnya.

Tidak kalah penting, kesadaran masyarakat dan pelaku usaha harus ditingkatkan. Pendidikan lingkungan yang mengedepankan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem dapat menjadi langkah awal untuk mencegah bencana serupa di masa depan. Ketika masyarakat memahami bahwa menjaga alam juga berarti menjaga masa depan mereka, upaya konservasi akan lebih efektif dan berkelanjutan.

Bencana di Kemuning bukan sekadar akibat dari hujan deras, tetapi juga cermin dari kesalahan manusia dalam memperlakukan alam. Ketamakan manusia yang mengabaikan dampak lingkungan telah menciptakan ancaman yang nyata bagi kehidupan. Ini adalah peringatan bahwa alam memiliki batas toleransi, dan ketika batas itu dilanggar, kita semua akan menanggung akibatnya.

Pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha harus bersatu untuk memastikan bahwa pembangunan kawasan wisata dilakukan secara bertanggung jawab. Keberlanjutan kawasan wisata seperti Kemuning tidak hanya penting untuk menjaga daya tariknya, tetapi juga untuk melindungi kehidupan masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Jika kita terus mengabaikan pelajaran dari bencana ini, kerusakan yang lebih besar hanya tinggal menunggu waktu.

Banjir lumpur di Kemuning adalah peringatan keras yang tidak boleh diabaikan. Ini bukan hanya tentang sebuah bencana, melainkan juga tentang pilihan yang kita buat dalam menghadapi hubungan antara manusia dan alam. Jika kita tidak segera bertindak, masa depan kawasan wisata kita bisa berubah menjadi catatan kelam dalam sejarah lingkungan hidup.