Fokus Jateng- BOYOLALI- Kalangan pecinta budaya dan sejarah di Boyolali sempat geram, menyusul adanya rencana pemasangan chattra (payung mahkota) di atas stupa induk Candi Borobudur yang akan berlangsung pada 18 September 2024. Keresahan itu juga diikuti maraknya gerakan “Pray for Borobudur”. Tagar ini merupakan penanda penolakan pemasangan chattra tersebut. Penolakan datang dari berbagai pihak, terutama dari kalangan akademisi, arkeolog, dan pengelola warisan budaya di seluruh Indonesia.
Ketua Komunitas Boyolali Heritage Society (BHS), Kusworo Rahardian, mengemukakan terkait chattra di Candi Borobudur, sejarahnya bermula dari pemugaran Candi Borobudur yang dilakukan oleh Theodoor van Erp pada tahun 1907-1911. Pada saat itu, Van Erp memasang chattra di atas stupa induk Borobudur. Namun, kemudian Van Erp sendiri memutuskan untuk mencopot chattra tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan bentuk asli dan filosofi Borobudur. Sehingga, BHS menilai bahwa pemasangan chattra di puncak Borobudur tidak seharusnya dilakukan.
“Bahwa chattra tidak perlu dipasang. Kalau yang memasang Kemenag itu malah aneh. Borobudur itu milik dunia, warisan dunia. Bukan warisan golongan tertentu,” ucap Kusworo. Selasa 10 September 2024 di Boyolali.
Candi Borobudur ini lanjut Kusworo, adalah warisan budaya dunia yang harus dijaga keasliannya, bukan dimodifikasi sesuai kepentingan pihak tertentu. Adapun resiko pemasangan Chattra terhadap status Warisan Dunia UNESCO, jika terjadi pencabutan status akan berdampak bagi masyarakat sekitar dan lingkungan kawasan Borobudur secara luas. Selain itu juga pengawasan secara internasional akan melemah sehingga kemungkinan besar berimbas pada upaya pelestarian Borobudur.
” Kami juga mencatat tidak ada candi buddha di Jawa Tengah yang menggunakan chattra.”
Penolakan terhadap rencana pemasangan chattra juga disampaikan oleh anggota BHS yang lain, Yoansen, menurutnya, banyak stupa di India dan negara lain juga tidak memiliki chattra, sehingga pemasangan chattra di Borobudur tidak sesuai dengan filosofi dan sejarah aslinya.
“Selain itu pemasangan chattra di stupa induk tidak sesuai dengan kaidah arkeologi. Karena itu, kami menolak rencana ini demi menjaga keaslian dan nilai historis Candi Borobudur.”
Untuk itu, pihaknya mendukung pernyataan sikap komunitas-komunitas pelestari, pegiat, pecinta, aktivis cagar budaya untuk menolak pemasangan chattra pada stupa induk candi Borobudur. Mereka juga mengajak seluruh lapisan masyarakat, akademisi, pecinta sejarah, dan budaya untuk mendukung pelestarian Candi Borobudur dengan cara yang bertanggung jawab dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan kaidah keilmuan, karena Candi Borobudur adalah warisan nenek moyang bangsa Indonesia yang penuh dengan nilai filosofis, sehingga apabila terjadi penambahan atau perubahan bentuk, maka dapat mengubah makna yang terkandung di dalamnya. (**)