Fokus Jateng-Sragen- Satu Suro menjadi momentum tersendiri di Di Desa Karungan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen. Malam 1 Suro bukan sekadar pergantian tahun dalam kalender Hijriah atau malam Suro dalam hitungan Jawa. Ia adalah malam penyatuan antara ingatan kolektif, keyakinan spiritual, dan semangat menjaga warisan. Sejak beberapa tahun terakhir, warga desa ini menghidupkan kembali tradisi “Obor Sewu”, menyalakan lebih dari seribu obor dalam pawai keliling kampung, sebagai bentuk penyambutan tahun baru Islam.
Tahun ini, peringatan 1 Muharram 1447 Hijriah berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kepala Desa Karungan, Joko Sunarso, memimpin langsung pelaksanaan kegiatan, yang tidak hanya berkeliling sepanjang 40 meter seperti biasa, tetapi juga menyambungkan jalur pawai menuju kompleks makam Nyai Ageng Serang—sebuah titik penting dalam sejarah lokal.
“Kami ingin memperkuat sisi religi dan sejarah desa ini. Makam Nyai Serang yang letaknya hanya 300 meter dari Pasar Bahulak, adalah potensi wisata spiritual dan bukti perlawanan lokal terhadap kolonialisme,” kata Joko kepada Tempo.
Malam itu, warga berkumpul untuk doa bersama dan kirim tahlil di pusara yang dipercaya sebagai makam Nyai Serang. Batu nisan tua dan bendera merah-putih menjadi penanda kehadiran sosok yang diyakini sebagai tokoh perempuan pelindung desa semasa penjajahan Belanda. Menurut kisah turun-temurun, Nyai Serang adalah bagian dari jaringan perlawanan terhadap kolonialisme, yang sempat berlindung dan bermukim di Karungan dalam kondisi terluka.
Simbol perlawanan itu masih terjaga. Dalam prosesi malam 1 Suro, warga membawa tombak dan selendang yang dipercaya sebagai peninggalan zaman perlawanan. Dua pusaka itu diserahkan secara simbolis oleh perwakilan tokoh masyarakat Sragen dan dikembalikan ke Desa Karungan untuk disimpan sebagai penanda sejarah.
“Ini bukan sekadar tradisi, tapi ikhtiar kami merawat identitas dan memuliakan para leluhur,” ujar Joko.
Obor menyala hingga larut malam, menerangi jalanan desa dan jejak sejarah yang selama ini mungkin terabaikan. Di tengah arus modernisasi, Desa Karungan memilih bertahan dengan akar budayanya—dan menjadikannya sebagai pijakan menuju masa depan. (AN/**)