Oleh : Najwa Aulia Erlyasari
Mahasiwa Universitas Muria Kudus
Fokus jateng- KUDUS,-Gangguan tumbuh kembang pada anak merupakan masalah yang kerap terjadi pada anak yang sedang melalui proses tumbuh kembang salah satunya gangguan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) (Nabila, dkk., 2022). Attention deficit hyperactive disorder (ADHD) merupakan gangguan emosional/perilaku yang paling sering didiagnosis pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan pemusatan perhatian, pembicaraan yang lepas (Latif dkk., 2024).
Gangguan ADHD dapat diketahui sebelum usia 7 tahun dan dapat terjadi dalam berbagai macam situasi seperti situasi rumah, sekolah, bermain atau situasi sosial lainnya (Baihaqi dan Sugiarmin, 2006). Menurut Diagnostik dan Statistik Manual Gangguan Mental, Edisi 5 (DSM 5), menjadi didiagnosis dengan ADHD anak harus memiliki gejala minimal enam bulan sebelum diagnosis dan gejala tersebut harus telah hadir sebelum 12 tahun (Jenifer dkk., 2014). Prevalensi ADHD di dunia berkisar antara 2% hingga 7%, dengan rata-rata sekitar 5% terjadi pada anak-anak (Sayalet dkk., 2018).
Kejadian ADHD di Indonesia kerap kali ditemukan pada anak usia prasekolah dengan sejumlah 16,3% dari jumlah total populasi 15,85% juta anak. Sedangkan menurut Hayati dan Apsari (2019) kasus ADHD di Indonesia termasuk cukup tinggi dengan jumlah mencapai 26,4%, yang diperkuat dengan data dari Badan Pusat Statistik Nasional tahun 2007 yang menyatakan bahwa jumlah populasi anak di Indonesia sebanyak 82 juta dimana satu diantara lima anak dan remaja yang berusia dibawah 18 tahun memiliki permasalahan kesehatan jiwa dengan 16 juta diantaranya mengalami masalah kejiwaan yang termasuk ADHD.
Gangguan pemusatan perhatian atau “Attention Deficit Hyperactivity Disorder” (ADHD) adalah gangguan psikiatrik atau gangguan perilaku yang paling banyak dijumpai, baik di sekolah ataupun di rumah. Gangguan ini merupakan salah satu kelainan yang sering dijumpai pada gangguan perilaku anak (Rusmawati & Kumala, 2011).
Attention deficit hyperactive disorder (ADHD) merupakan salah satu jenis kondisi berkebutuhan khusus yang termasuk dalam gangguan perilaku (Erinta dan Budiani, 2012). Ditinjau secara psikologis ADHD merupakan suatu gangguan seseorang yang dialami dalam perilakunya yang disebabkan oleh disfungsi neurologis dengan gejala/ciri-ciri utama yaitu kesulitan dalam pemusatan perhatian (Putranto dan Bambang, 2015).
Adapun Amalia (2018) dalam paparannya menyebut ADHD yaitu gangguan yang menyerang perkembangan saraf anak dimana anak akan menunjukkan beberapa masalah yang disebabkan kurangnya perhatian atau hiperaktif-impulsif. Anak dengan ADHD akan mengalami masalah keterlambatan pada perkembangan baik perkembangan perilaku sosialisasi maupun komunikasi.
Faktor-faktor yang menyebabkan ADHD pada anak termasuk genetik, pola makan orang tua saat mengandung anak, manajemen pengasuhan orang tua yang buruk, faktor lingkungan seperti keracunan timbal, makanan adiktif, reaksi alergi, dan lingkungan perokok. Faktor genetik dan manajemen pengasuhan anak adalah faktor utama yang menyebabkan anak ADHD, terutama anak-anak yang kurang memerhatikan.
Terapi suportif untuk anak ADHD adalah terapi yang membantu anak mengelola gejala ADHD dengan cara mengoptimalkan keterampilan koping yang sudah ada. Terapi ini berorientasi pada pasien dan berfokus pada gejala. Terapi bermain untuk anak ADHD adalah terapi yang dilakukan dengan bimbingan terapis untuk membantu anak mengatasi gejala ADHD.
Berkait hal tersebut Najwa Aulia Erlyasari, Mahasiwa Prodi Psikologi Universitas Muria Kudus, pada Jumat 10 Desember 2025, sebagai mahasiswa magang dan membantu melakukan terapi di poli psikologi RSUD RAA Soewondo Pati, Jawa Tengah, mengemukakan bahwa, terapi ini dapat membantu anak mengembangkan perhatian, mengendalikan impuls, dan meningkatkan keterampilan sosial. Banyaknya kasus gangguan perkembangan pada anak terutama gangguan ADHD, banyak orang tua yang sadar akan pentingnya perkembangan anak dan tidak segan untuk membawa anak melakukan terapi. Khususnya di poli psikologi RSUD RAA Soewondo Pati yang setiap harinya ada 5-10 anak dengan gangguan ADHD, hendaknya orang tua diminta untuk ikut membantu terapis dalam melakukan terapi pada anak dengan gangguan dengan menjaga makan menghindari makanan yang menyebabkan gejala ADHD semakin memburuk, mempelajari pola asuh dan menjauhkan anak dari gadget/hp. (ist/**)