OPINI : Imbas Kekalahan Pilkada Boyolali 2024

Gombloh : PDIP Boyolali Butuh Perubahan

 

Fokus Jateng – Boyolali – Tim pemenangan Marsono-Saifulhaq Mayyazi, Rabu 27 November 2024 malam, mengumumkan bahwa pasangan calon yang didukung kalah berdasarkan hasil hitung cepat yang dilaksanakan sesuai pemungutan suara di kantor DPC PDIP Boyolali. Dalam hitungan mereka, pasangan nomor urut 1 Marsono-Saifulhaq Mayyazi mendapatkan 38% sedangkan Agus Irawan-Dwi Fajar Nirwana memperoleh 62% suara. Sebutan Boyolali sebagai kandang banteng kini runtuh dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.

Pengumuman kekalahan itu disampaikan langsung sesepuh sekaligus Dewan Pembina DPC PDIP Boyolali, Seno Kusumoharjo atau Seno Gede, dalam konferensi pers di kantor partai, Rabu malam. Koalisi PDIP yang mengusung Marsono-Saifulhaq Mayyazi mengakui kekalahan dalam hitung cepat Pilkada dari pasangan Agus Irawan-Dwi Fajar Nirwana. Koalisi sebesar 40 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Boyolali terjungkal melawan 10 koalisi kursi yang mengusung perubahan.

Menurut tokoh yang dulu pernah membuat sosialisasi melalui Video Compact Disk (VCD) untuk PDIP dengan lagu campur sari “Coblos Moncong Putih”, Gombloh Sujarwanto yang saat ini sebagai Presidium Barisan Merah Putih Pengging (BMPP) Boyolali mengatakan bahwa PDIP Boyolali butuh sosok pemimpin perubahan. Pertama, PDIP Boyolali harus melepaskan diri dari oligarki yang hanya memanfaatkan partai politik sebagai sarana membangun dinasti. PDIP Boyolali harus belajar sejarah bahwa pilkada Boyolali 2004, Seno Samodro (adik Seno Kusumoharjo) maju sebagai wakil Bupati Boyolali melalui Partai Golongan Karya (Golkar). Kalau tiba-tiba berkoar sebagai kader PDIP sejak lama, maka kita orang Boyolali yang paham sejarah hanya tertawa,” katanya.

Kedua, PDIP Boyolali harus kembali ke marwah sebagai pembela wong cilik, bukan malam manfaatkan wong cilik hanya demi kepentingan dinastinya saja. Bayangkan, mampu meraih sebanyak 36 kursi dari total 50 kursi DPRD tapi kok pilkada Boyolali 2024 tidak ada suaranya. Kalau dipandang kepemimpinan PDIP Boyolali selama 15 tahun sangat arogan dan tidak mengindahkan nilai-nilai kerakyatan dan demokrasi, bisa jadi itu benar adanya. Seolah-olah partai menjadi milik pribadi atau dinasti yang memiliki agenda lebih berpihak ke oligarki. Dinasti tersebut menumpuk kekayaan dengan menghisap seluruh organ vital yang memiliki sumber daya dan logistik demi kepentingan pribadi,” terang Gombloh.

Ketiga, PDIP Boyolali harus menentukan arah politik pasca kekalahan Pilkada Boyolali 2024 ini. Mengambil pilihan koalisi atau oposisi harus dipikirkan secara matang-matang. Bagaimana pun juga, agenda pemilihan legislatif (Pileg), pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) dan Pilkada Boyolali 2024 menyedot sumber daya dan logistik internal kader PDIP Boyolali yang sangat besar. Untuk 5 (lima) tahun kedepan, perlu sumber daya demi pemulihan dan menjaga kaderisasi partai. Sehingga butuh pemimpin PDIP Boyolali yang bisa berakselerasi dengan pemerintahan Boyolali saat ini. Kalau oposisi lalu bagaimana mengembalikan modal awal sebelumnya?,” ucap Gombloh.

Keempat, PDIP Boyolali butuh pemimpin perubahan. Kalau mau jujur, sebenarnya banyak yang mules dengan dalih iuran yang ujungnya terkumpul pada satu penguasa partai. Internal partai seungguhnya tidak nyaman. Tapi karena takut akan tekanan dan ancaman, maka tidak ada yang bersuara. Demokrasi sesungguhnya dibungkam di internal PDIP Boyolali. Di sinilah sesungguhnya PDIP Boyolali ini butuh pemimpin perubahan yang dapat memberikan ruang demokrasi dan tidak ada lagi tekanan serta intimidasi. Saya rasa, 2024 adalah saat yang tepat bagi PDIP Boyolali melakukan perubahan,” ujar Presidium BMPP Boyolali. ( ist/**)