Sarinah dan Pemikiran Bung Karno tentang Perempuan Dibedah di Ruang Literasi Kaliurang

Fokus Jateng-Kaliurang ,– Pemikiran Bung Karno tentang perempuan kembali dihidupkan dalam diskusi bertajuk Sarinah, Narasi Perempuan dalam Pembangunan Bangsa yang digelar di Ruang Literasi Kaliurang, Sabtu 28 Juni 2025.

Diskusi ini menjadi bagian dari rangkaian kegiatan Satu Pekan Bersama Bung Besar yang diselenggarakan oleh Ruang Literasi Kaliurang bekerja sama dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yayasan Bumi Pancasila, dan Yayasan Bung Karno.

Buku Sarinah, karya Soekarno yang terbit pada masa revolusi, dianggap sebagai salah satu karya pertama di Asia yang mengulas emansipasi perempuan secara mendalam, bahkan ditulis langsung oleh kepala negara. Dalam buku tersebut, Soekarno meramu gagasan feminisme dalam balutan nasionalisme anti-kolonial dan praktik revolusioner.

“Diskusi ini bukan hanya kegiatan seremonial, melainkan bagian dari gerakan literasi, yakni merawat dan meneladani pemikiran para pendiri bangsa,” ujar Prakoso, Deputi Bidang Hubungan Antar Lembaga Sosialisasi Komunikasi dan Jaringan BPIP, saat membuka acara.

Kepala BPIP,  Yudian Wahyudi, yang turut hadir dalam kegiatan ini, menekankan pentingnya menggali kembali pemikiran tokoh bangsa. Ia menyoroti bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan peristiwa luar biasa karena dilakukan oleh tokoh-tokoh sipil di tengah situasi perang global dan berhasil menyatukan puluhan kerajaan dan wilayah dalam satu bangsa Indonesia.

Diskusi menghadirkan dua narasumber utama: Fanda Puspitasari dari DPP GMNI dan Sri Wiyanti Eddyono, dosen Fakultas Hukum UGM, dengan moderator Wasingatu Zakiyah.

Dalam paparannya, Sri Wiyanti menyebut bahwa pemikiran Soekarno tentang perempuan tergolong progresif dan mendahului zamannya. “Namun kita juga perlu bersikap objektif, karena dalam praktik hidupnya, ada hal-hal problematis yang patut dikritisi,” ujarnya.

Sementara itu, Fanda Puspitasari menyoroti pentingnya sosok Sarinah dalam kehidupan Bung Karno. “Sarinah bukan tokoh elitis. Ia seorang pengasuh, perempuan kelas bawah, namun dijadikan simbol kemanusiaan oleh Bung Karno. Bahkan disetarakan dengan tokoh-tokoh dunia seperti Mahatma Gandhi,” jelasnya.

Diskusi ini diharapkan menjadi pemantik untuk menghidupkan kembali gagasan-gagasan progresif yang pernah dicetuskan oleh Bung Karno, khususnya tentang perempuan, serta mengkritisi konstruksi pasca-Orde Lama yang cenderung meminggirkan peran perempuan dalam politik dan perubahan sosial. (AN/**)