FOKUS JATENG — KARANGANYAR — Masyarakat Petani Tebu yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Karanganyar merasa cemas menunggu petunjuk teknis (juknis) pemberlakuan regulasi pembelian gula oleh Bulog.
Kegelisahan itu muncul pasca keluarnya Surat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor S-202/M.EKON/08/2017 tentang Catatan Rapat Koordinasi Terbatas tanggal 15 Agustus 2017 tentang Kebijakan Gula. Diperkuat lagi dengan surat Menteri Perdagangan RI Nomor 885/M-DAG/SD/8/2017 tentang Pembelian dan Penjualan Gula oleh Perum Bulog.
Proses penerbitan surat tersebut melalui jalan panjang di mana muaranya memutuskan enam usulan solusi permasalahan pembelian dan penjualan gula.
Usulan solusi terbagi menjadi jangka pendek dan menengah panjang.
Adapun solusi jangka pendek meliputi gula komoditas pertanian yang tidak dikenakan PPN sesuai persetujuan Menteri Keuangan. Peserta rapat menyepakati Perum Bulog membeli gula petani maupun PG BUMN Rp9.700 per kilogram (kg) karena petani tidak bisa menjual gula melalui sistem lelang terbuka.
“Selama musim panen 2017. Selama ini kan lelang bersama dan terbuka di tingkat provinsi. Enggak laku. Investor beralasan banyak hal. Mereka tidak berani,” kata Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Wilayah Kerja PG Tasikmadu, Eko Setiyono, saat ditemui wartawan di ruang kerjanya.
Hasil rapat terbatas Kementerian Bidang Perekonomian yang terdiri beberapa kementerian dan BUMN menyepakati bahwa gula yang dibeli Perum Bulog harus memenuhi standar kesehatan yang berlaku secara umum (SNI).
Imbasnya adalah penjualan gula curah hanya dapat dilakukan Perum Bulog.
Solusi menengah panjang membahas tentang kualitas bibit, keakuratan pengukuran rendemen, dan restrukturisasi PTPN. Pembelian tebu petani oleh PTPN dilakukan dengan sistem beli putus sehingga lebih fleksibel mengolah dan mendistribusikan gula.
Surat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI ditindaklanjuti dengan surat Menteri Perdagangan RI. Surat yang ditandatangani Menteri Perdagangan RI, Enggartiasto Lukita itu ditujukan Direktur Utama Perum Bulog.
Isi surat menegaskan bahwa rapat koordinasi terbatas bidang perekonomian menyepakati hanya Perum Bulog yang dapat menjual gula dalam bentuk curah ke pasar tradisional.
“Berkenaan dengan hal tersebut, Perum Bulog melakukan pembelian gula petani dan menjual kepada pedagang di pasar tradisional seluruh Indonesia agar pedagang dapat menjual gula kepada konsumen dengan harga sesuai yang ditetapkan pemerintah,” demikian isi petikan surat Menteri Perdagangan RI.
Eko mengaku optimistis setelah menerima dan membaca dua surat itu. Dia merasa mendapatkan angin segar terkait permasalahan penjualan gula petani.
“Oh iya, optimistis. Bola ada di tangan Bulog sekarang. Kami tunggu hasil rapat selanjutnya. Termasuk teknis pembelian dan penjualan. Harapan kami, tidak ada gula ngendon di gudang. Supaya kegiatan ekonomi petani tebu tetap jalan,” ujar Eko.
Lebih jauh Eko memaparkan dengan harga yang ditetapkan tersebut petani tebu masih sulit mendapat untung tapi prioritasnya adalah berupaya roda perekonomian petani tebu tetap berjalan.
Efek penjualan gula pasir macet itu bukan hanya dirasakan petani tebu. Menurut Eko, pabrik gula pun terkena imbas. Mereka tidak bisa menjual gula pasir sehingga tidak bisa menghidupi karyawan pabrik. “Pabrik harus bayar pegawai, pensiunan, dan lain-lain. Mereka kan juga harus jual gulanya. Imbasnya kemana-kemana kalau gula enggak bisa terjual,” tutur dia.