FOKUS JATENG-SRAGEN-Petani Desa Blimbing mendapatkan penyuluhan pertanian sebagai sasaran nonfisik kegiatan TMMD Reguler ke-103 Kodim 0725/ Sragen, Kamis 1 November 2018. Kali ini menghadirkan narsumber dari Dinas Pertanian Sragen, yang diwakili Sularmin, penyuluh pertanian lapangan Desa Blimbing, Kecamatan Sambirejo, Sragen.
Pada kesempatan ini dihadiri Kepala Desa Blimbing Sudarno, Letda Arm Waskito (Pa Sandi) kodim 0725/Sragen, Babinsa Serda Ahmad Soleh, Perangkat Desa dan 60 warga Desa Blimbing.
Menurut Sularmin, setiap musim tanam selalu saja petani “berteriak” memelas karena pupuk langka. Sering pula hama yang ada berubah makin ganas dan menjadi kebal terhadap “obat” pertanian yang ada. Kemudian, walaupun ada sebagian petani dengan bercocok tanam secara organik, namun ternyata pupuk organik sulit didapat dan tergantung juga pada produsen pupuk (organik).
“Ketiga hal ini paling tidak menunjukkan bahwa pola pertanian kita masih jauh dari standar berkelanjutan ekonomi berarti juga meminimalkan atau bahkan meniadakan biaya eksternal dalam proses produksi pertanian,” terangnya.
Dalam poin keberlanjutan ekonomi ini, masih banyak terlihat bahwa petani belum sustain secara ekonomi dalam pengelolaan pertaniannya. Sebagai contoh, di lapangan penulis banyak menjumpai petani yang harus (terus-menerus) berutang menjelang musim tanam (untuk biaya produksi dan alat). Ketergantungan petani atas input dari luar (terutama pupuk dan pestisida) adalah bukti paling nyata.
Jadi kita harus memulai (saat ini juga) memperkenalkan kepada para petani kita beberapa alternatif model pertanian, semisal LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture). Dimana dengan LEISA ini kemandirian petani lebih terjamin, selain itu juga ramah lingkungan.
Keberlanjutan ekologis adalah upaya mengembangkan agroekosistem agar memiliki kemampuan untuk bertahan dalam kurun waktu yang lama melalui pengelolaan terpadu untuk memelihara dan mendorong peningkatan fungsi sumber daya alam yang ada. Pengembangan sistem juga berorientasi pada keragaman hayati (biodiversity).
Praktik-praktik budidaya tanaman yang menyebabkan dampak negatif pada lingkungan harus di hindari. bahwa petani sering menyemprot pestisida pabrikan walaupun tidak ada hama. Seolah ada ketakutan yang dalam jika tidak disemprot pastilah akan kena serangan hama.
Saking akrabnya petani dengan pola asal semprot-semprot ini ditunjukkan dengan kebiasaan mereka menyebut pestisida sebagai obat. Padahal pestisida adalah racun (pest=hama sida=racun) bukan obat. Bahkan banyak pula petugas penyuluh yang menyebut pestisida sebagai obat. Padahal sudah banyak ulasan tentang bahaya residu pestisida terhadap petani, lingkungan dan konsumen.
Selain berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan, syarat mutlak sistem pertanian berkelanjutan adalah keadilan sosial, dan kesesuaian dengan budaya lokal. Yakni penghargaan martabat dan hak asasi individu serta kelompok untuk mendapat perlakuan adil. Misalnya adanya perlindungan yang lebih tegas atas hak petani dalam penguasaan lahan, benih dan teknologi lokal yang sering “dibajak” oleh kaum pemodal.
Sistem yang harus dibangun juga menyediakan fasilitas untuk mengakses informasi, pasar dan sumberdaya yang terkait pertanian. Hal mana harus menjamin “harga keringat petani” untuk mendapat nilai tukar yang layak, untuk kesejahteraan keluarga tani dan keberlanjutan modal usaha tani.