Umat Hindu Menggelar Upacara Murwa Candhika di Situs Watu Genuk Boyolali

Prosesi upacara Murwa Candhika di Candi Watu Genuk, Kragilan, Boyolali. (Yulianto/Fokusjateng.com)

FOKUS JATENG-BOYOLALI-Umat Hindu di Boyolali mengikuti upacara Murwa Candhika di situs watu genuk di Dukuh Watu Genuk, Desa Kragilan, Kecamatan Boyolali Sabtu (16/11/2019) siang.

Ritual ini untuk pertama kali sejak situs yang wujudnya berupa lingga dan yoni ditemukan warga pada 2014 lalu.
Tokoh umat Hindu Boyolali Sumastopo menjelaskan konsep Murwa Candhika sebenarnya tidak berbeda jauh dengan yang kerap diadakan oleh masyarakat Hindu yang memiliki tradisi murwakala atau pembersihan alam. Konsep ini kemudian disederhanakan menjadi Murwa Candhika karena yang dibersihkan adalah lingga dan yoni yang merupakan bagian dari candi.

“Pembersihan itu tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang tampak tetapi juga yang tidak tampak,” kata Sumastopo.

Ritual ditandai dengan pengambilan air dari sumber mata air Nganten sebagai simbol pintu gerbang untuk masuk ke lingkungan candi watu genuk di desa setempat. Dengan membawa sembilan kendi, arak arakan itu menuju candi Watu Genuk, tempat penemuan cagar budaya, sekitar 500 meter dari mata air Nganten. Kirab dari punden menuju situs dipimpin seorang pinandita (pemuka agama) Hindu. Laki-laki itu berjalan sambil membawa loceng di tangan kiri.

“Lonceng yang dalam istilah keagamaan disebut bajra ini berfungsi sebagai pengiring doa-doa kebaikan yangdipanjatkan sepanjang jalan,” kata Sumastopo.

Dijelaskan, sembari berjalan panindita terus membunyikan bajra dan tah ada hentinya merapal doa yang diucapkan dalam bahasa Sansekerta.

Setelah sampai di situs Watu Genuk air dari sembilan kendi itu diguyurkan ke lingga dan yoni dengan cara berjalan memutar. Sebelumnya lingga dan yoni telah diberi dupa dan berbagai sesajen hasil bumi. Mereka juga melakukan bersih lingkungan dan malam tirakatan di pekan sebelumnya.

Sebelum dilakukan prosesi siraman, terlebih dulu dilangsungkan sendratari bedaya yang dipentaskan alumni duta seni dan misi kebudayaan Boyolali, serta disaksikan warga sekitar.

Sumastopo menuturkan sembilan kendi melambangkan sumber songo semesta yang merujuk pada delapan mata angin dan satu porosnya yang berada di tengah. Kedelapan mata angin itu meliputi timur, tenggara, selatan, barat daya, barat, barat laut, utara, dan timur laut. Setiap mata angin dan porosnya memiliki dewa penguasa atau disebut Nawa Dewata.

“Konsep Nawa Dewata ini selaras dengan kepercayaan Jawa kuno sebelum ajaran Hindu dan Buda,” ujarnya.

Komunitas mBoja Lali adalah sosok yang dibalik terselenggaranya Murwa Candhika Watugenuk , menurut koordinator mBoja lali, Odi Dasa, kegiatan ini dilakukan secara gotong royong dari semua golongan masyarakat, komunitas seni, hingga pemerhati budaya untuk membersihkan desa, terutama warga desa setempat.

“Dengan banyaknya peninggalan cagar budaya di Boyolali yang belum teperhatikan, perlu upaya sungguh sungguh untuk penyelamatan dan pelibatan masyarakat dan pihak terkait, kami berharap bisa menjadi dasar kepedulian untuk pelestarian oleh masyarakat sendiri,” pungkasnya.