FOKUSJATENG.COM, SUKOHARJO – Pagi yang sendu di selatan kantor Kecamatan Grogol, Sukoharjo, terasa sempurna dengan kehadiran semangkuk gule masak yang hangat dan kaya rasa. Di tangan dingin Pak Mul (67), hidangan sederhana ini menjelma menjadi sebuah karya seni kuliner yang mampu meniupkan “ruh” pada setiap potong jeroan di dalamnya.
Bagi sejarawan kuliner, Heri Priyatmoko, perjalanan hidup Pak Mul adalah sebuah epos tersendiri. Ia menganalogikan kisah Pak Mul seperti legenda Gatotkaca yang sejak dini digembleng di kawah Candradimuka untuk menjadi kesatria digdaya.
“Pak Mul ini laksana Gatotkaca di dunia kuliner kambing. Masa kecilnya direnggut kemiskinan, memaksanya undur diri dari bangku kelas tiga SD untuk melemparkan diri ke kawah persatean,” ungkap Heri.
Lahir dan besar di Gurawan, sebuah kampung yang hanya seperminuman teh dari Pasar Kliwon, Solo—sebuah lokus yang sejak era kolonial sohor sebagai pusat kuliner serba kambing—Pak Mul sudah akrab dengan dunia dapur sejak usia 9 tahun.
Menurut Heri, perjalanan Pak Mul dalam menyerap ilmu (kawruh) memasak mirip dengan pengembaraan tokoh Mas Cebolang dalam Serat Centhini. Ia tak segan ngenger (mengabdi sambil belajar) dari satu juragan ke juragan lainnya.
“Beliau ingat betul pernah magang di warung sate legendaris Pak Djaman, bergulat dengan bumbu di dapur Pak Samin, hingga menyerap teknik istimewa di warung dekat bekas bioskop Indra Purbayan yang kala itu ngetop dengan sate buntelnya yang dicacah manual, bukan digiling seperti sekarang,” tutur Heri.
Proses tempaan puluhan tahun itulah yang menjadikan tangan Pak Mul begitu piawai. Heri menyebut, nyaris mustahil menemukan aroma prengus, rasa sepo, hambar, atau bumbu yang kurang pas ketika daging kambing sudah diolah olehnya. Hasilnya selalu memikat lidah siapa pun yang mencicipi.
Seperti pada hidangan gule masak yang tersaji hari ini. Bukan hanya teksturnya yang empuk dan kenikmatannya yang tak terperi, hidangan ini seolah memiliki kecerdasan rasa. “Gule tersebut seolah paham dan meninggalkan jejak kenikmatan di setiap jalur yang dilewatinya, dari rongga mulut hingga menuju pemberhentian terakhir di usus,” kata Heri dengan puitis.
Dengan taburan merica secukupnya, pengalaman bersantap pun mencapai puncaknya. Heri menutup ceritanya dengan sebuah kesimpulan yang tak berlebihan.
“Saat lidah berjumpa dengan kuliner ala Pak Mul, hati seketika bisa menjerit: inilah potongan surga di jagad cilik.” ( BRE)