FOKUSJATENG.COM, KARANGANYAR– Di antara hamparan hijau kebun teh yang menyejukkan di Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, sebuah bisikan dari masa lalu terdengar semakin jelas. Di bawah lapisan humus dan perakaran teh yang dikelola PT RSK, tersembunyi jejak-jejak yang diyakini sebagai fondasi sebuah candi Hindu kuno. Temuan ini, yang hanya berjarak satu kilometer dari kemegahan Candi Ceto, kini menjadi pertaruhan antara penemuan ilmu pengetahuan yang tak ternilai dan risiko kehilangan warisan leluhur.
Tim dari Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Jawa Tengah memang telah menjejakkan kaki di lokasi. Mereka telah melakukan tugas awal: mendokumentasi, memeriksa beberapa tembikar, dan mengamati struktur tanah berundak serta fondasi batu yang samar-samar menampakkan diri. Namun, kunjungan itu tidak boleh menjadi akhir, melainkan harus menjadi gerbang pembuka bagi sebuah keseriusan.
Ini bukanlah sekadar tumpukan batu biasa.
Camat Jenawi, Ardiansyah, mengonfirmasi bahwa penelusuran awal tim ahli mengarah pada dugaan kuat adanya candi Hindu yang terpendam. “Informasi dugaan candi Hindu terpendam di bawah kebun teh ini logis, mengingat lokasinya yang sangat dekat dengan kompleks Candi Ceto,” ujarnya.
Logika geografis ini adalah sinyal pertama yang tak bisa diabaikan. Lereng Gunung Lawu adalah sebuah kanvas peradaban besar di masa lalu. Candi Ceto dan Sukuh adalah bukti monumentalnya. Sangat mungkin, situs di Gumeng ini adalah bagian dari jejaring spiritual dan pemukiman yang lebih besar, sebuah mata rantai yang hilang dalam narasi sejarah kita.
Panggilan dari Akar Rumput
Lebih dari sekadar objek arkeologis, situs ini adalah cerminan kepedulian masyarakat. Jauh sebelum menjadi perhatian resmi, para sesepuh dan warga lokal telah lama “mengetahui” keberadaannya. Agung Setiyono dari Komunitas Pecinta Budaya Karanganyar mengungkapkan bahwa pengetahuan ini sudah ada sejak sekitar tahun 2021, diwariskan dalam senyap.
“Awalnya minim informasi karena tertimbun humus tebal. Baru setelah dibersihkan, terlihat sedikit tanda-tandanya,” kata Agung.
Kesadaran kolektif inilah yang mendorong mereka melapor. Mereka tidak melihatnya sebagai potensi wisata instan, melainkan sebagai “potensi cagar budaya dan ilmu pengetahuan yang harus dilindungi,” seperti yang ditegaskan oleh Camat Ardiansyah. Ini adalah murni panggilan dari akar rumput, sebuah permohonan tulus agar negara hadir dan mengambil peran utamanya dalam pelestarian.
Struktur anak tangga yang samar dan serpihan tembikar yang terserak mungkin terlihat sederhana. Namun, di mata para sejarawan dan arkeolog, ini adalah huruf-huruf pertama dari sebuah naskah kuno yang menunggu untuk dibaca. Tanpa ekskavasi dan penelitian yang serius, naskah itu akan tetap terkubur, terancam oleh aktivitas agrikultur dan alam.
Ujian Komitmen Pelestarian
Temuan di Jenawi adalah sebuah ujian. Apakah kita akan puas hanya dengan mendokumentasikannya sebagai “Situs X” dalam arsip, atau kita akan mengerahkan sumber daya untuk mengungkap ceritanya secara utuh?
Agung Setiyono menyiratkan adanya urgensi yang lebih luas. Ia menyebut masih ada beberapa situs lain yang tidak terawat di lereng barat Gunung Lawu, dengan akses yang sulit.
Jika situs Gumeng yang relatif mudah dijangkau ini tidak mendapat perhatian serius, bagaimana nasib situs-situs lain yang lebih terpencil?
“Saya sangat berharap, ada tindak lanjut dari pihak-pihak terkait. Sehingga dapat diteliti lebih lanjut dan dapat dilestarikan dengan baik,” pinta Agung.
Harapan ini seharusnya menjadi perintah kerja bagi institusi yang berwenang. Ini adalah momentum bagi Balai Pelestarian Kebudayaan untuk menunjukkan bahwa mereka tidak hanya reaktif, tetapi juga proaktif dalam merajut kembali sejarah bangsa. Penelitian mendalam di situs Gumeng tidak hanya akan menyelamatkan satu candi, tetapi juga berpotensi memetakan kembali lanskap peradaban kuno di lereng Lawu.
Kini, nasib situs di bawah kebun teh itu berada di persimpangan jalan. Akankah ia kembali tertidur di bawah lapisan tanah, atau akan dibangkitkan untuk menceritakan kisahnya kepada generasi mendatang?
Jawabannya ada pada keseriusan dan komitmen Balai Pelestarian Kebudayaan untuk tidak membiarkan bisikan sejarah ini lenyap ditelan zaman. ( bre)