Fokus Jateng-BOYOLALI– Ratusan warga Dukuh Manggung, Desa Pager Jurang, Kecamatan Musuk, lereng timur Gunung Merapi Boyolali punya cara mereka sendiri untuk memaknai usia ke-80 Republik Indonesia. Selepas peluh seharian bekerja, mereka berkumpul, menyatukan tenaga untuk mengarak mahakarya kebanggaan: bendera Merah Putih sepanjang 80 meter.
Arak-arakan ini lebih dari sekadar seremoni. Ia adalah puncak dari sebuah perjalanan panjang yang dimulai dari obrolan sederhana di antara warga, sebuah gagasan untuk membuat peringatan kemerdekaan tahun ini terasa istimewa. Hasilnya adalah sebuah proyek ambisius—membuat bendera raksasa sepanjang total 150 meter secara swadaya, sebuah bukti bahwa gotong royong masih menjadi denyut nadi di jantung komunitas mereka.
Simbolisme yang Dijahit dalam Setiap Helai Kain. Proyek monumental ini bukan tanpa perencanaan. Total 150 meter kain itu tak dibiarkan utuh, melainkan dipotong menjadi empat bagian dengan ukuran yang sarat akan makna sejarah: 17 meter, 8 meter, 45 meter, dan 80 meter. Setiap angka adalah representasi dari sebuah penanda waktu.
Ketua RT setempat, Sumardi, dengan bangga menjelaskan filosofi di baliknya. “Ini adalah cara kami bercerita melalui bendera,” ujarnya. “Potongan sepanjang 17 meter, 8 meter, dan 45 meter akan kami pasang di sepanjang jalan menuju masjid. Ini adalah simbol tanggal, bulan, dan tahun keramat kemerdekaan kita: 17 Agustus 1945.”
Sementara itu, bendera terpanjang, 80 meter, sengaja dibuat untuk menandai pencapaian bersejarah bangsa. “Yang 80 meter ini adalah penanda usia Republik Indonesia yang ke-80. Ini adalah perayaan kita bersama,” tambah Sumardi.
Derap Mesin Jahit dan Lembur Para Ibu
Di balik kemegahan bendera yang membentang, tersimpan kisah ketekunan yang berpusat di rumah Sri Yanti. Sejak awal Agustus, rumahnya beralih fungsi menjadi ‘markas’ perjuangan. Deru mesin jahit menjadi musik pengiring hari-hari mereka. Para ibu silih berganti datang, bahu-membahu menaklukkan gulungan kain selebar dua meter yang beratnya bukan main.
“Ini murni gotong royong, dananya pun dari swadaya warga, terkumpul sekitar 15 juta rupiah untuk bahan,” jelas Sri Yanti. Ia menceritakan bagaimana proses menjahit menjadi tantangan fisik yang nyata.
“Kesulitannya itu di beratnya kain. Untuk menggesernya saja butuh beberapa orang. Memasukkannya ke mesin jahit dan memastikan jahitannya lurus itu perjuangan tersendiri,” kenangnya. Puncaknya adalah malam sebelum bendera diarak.
“Kami lembur sampai jam setengah satu malam. Semua ibu-ibu berkumpul, memastikan setiap detail sempurna. Saat itu hanya kurang memasang tali-temalinya saja,” tutur Sri Yanti, matanya berbinar mengingat kebersamaan itu.
Mengarak Kebanggaan, Menantang Angin Gunung. Jumat sore itu menjadi saksi saat hasil kerja keras mereka dipertontonkan. Mengarak bendera sepanjang 80 meter di jalanan kampung yang menanjak dan berkelok bukanlah perkara mudah. Ambar Setyorini, salah seorang warga yang ikut di barisan depan, merasakannya secara langsung.
“Bangga sekali, tapi jujur, lumayan berat, Mas,” katanya sambil tertawa. “Apalagi pas angin gunung mulai turun, wah, benderanya jadi seperti layar kapal. Kami harus benar-benar pegangan erat supaya tidak goyah,” ceritanya.
Bagi Ambar, beban fisik itu tak ada artinya dibandingkan dengan gelora di dalam dada. Momen itu, menurutnya, adalah wujud nyata dari Pancasila yang ia harapkan terus hidup di Indonesia. “Ini gotong royong, ini kerja sama. Ini yang membuat kami bangga,” tegasnya.
Harapannya untuk Indonesia di usia ke-80 pun terucap tulus dari hatinya. “Semoga Indonesia makin maju, keadilannya merata untuk semua, dan nilai-nilai luhur Pancasila tidak hanya dihafalkan, tapi benar-benar dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.”
Berkibar di Atas Masjid Inklusif
Puncak dari arak-arakan adalah pembentangan bendera 80 meter di atas Masjid Ageng Sirotol Mustaqim. Pemilihan lokasi ini menambah lapisan makna yang mendalam. Masjid ini bukan hanya pusat ibadah, tetapi juga pusat pendidikan Al-Quran bagi para penyandang tuna netra.
“Pemasangan di masjid menunjukkan bahwa semangat nasionalisme ini milik semua, tanpa diskriminasi. Masjid kami bersifat nasional, merangkul siapa saja,” terang Sumardi.
Hingga akhir Agustus nanti, sang Merah Putih raksasa akan berkibar megah di sana. Ia menjadi pengingat, bukan hanya tentang hari kemerdekaan, tetapi juga tentang kekuatan sebuah komunitas yang ketika bersatu, mampu menciptakan sesuatu yang luar biasa dari hal-hal yang sederhana. Sebuah monumen harapan yang dijahit dengan benang kebersamaan warga lereng Merapi. ( IST/**)
Warga Pager Jurang Musuk Kirab Bendera 150 Meter Sambut HUT ke-80 RI
