FOKUSJATENG.COM, KARANGANYAR – Di tengah hiruk pikuk modernisasi dan serbuan hiburan digital, seni pewayangan, khususnya wayang kulit, tetap tegak sebagai benteng budaya adiluhung Indonesia. Bukan sekadar tontonan, wayang adalah tuntunan yang sarat makna, mengajarkan filosofi hidup dan kearifan lokal yang tak lekang oleh waktu. Pertanyaannya, bagaimana caranya agar warisan ini tetap relevan di mata generasi muda?
Di Karanganyar, seorang pegiat budaya bernama H. Sumanto yang juga sebagai Ketua DPRD Provinsi Jawa Tengah menjawab pertanyaan itu dengan aksi nyata. Secara berkala, ia menggelar pertunjukan wayang kulit yang tak hanya menghibur, tapi juga menjadi wadah edukasi dan pelestarian. Inisiatif ini disambut antusias, salah satunya oleh Sulardiyanto, pegiat seni setempat. “Kami sangat berterima kasih kepada H. Sumanto yang telah membuka ruang bagi pelestarian dan pengembangan seni budaya wayang kulit,” ujar Sulardiyanto. Ia menekankan pentingnya kegiatan ini dalam mendekatkan wayang kepada generasi yang semakin akrab dengan gawai daripada gamelan.
Panggung Masa Depan: Ajang Latihan Dalang Cilik Setiap “Selapan”
H. Sumanto punya resep jitu agar wayang tak kehilangan gaungnya: melibatkan generasi muda. Setiap “selapan hari sekali” atau setiap 35 hari, panggung wayang digelar, namun dengan satu keunikan utama: selalu ada dalang anak sebagai pembuka.
“Ini adalah ajang latihan bagi dalang-dalang kecil untuk mengasah keahlian mereka setelah belajar di sanggar,” jelas H. Sumanto. Mereka bukan sekadar pemanis, melainkan calon penerus yang dididik langsung di panggung.
Seperti pementasan pada Jumat (16/5) malam lalu, panggung dibuka oleh Gibrah Maheswara, siswa SD Al Azhar, yang memukau penonton dengan lakon “Kongso Adu Jago”. Setelah itu, panggung utama dilanjutkan oleh Ki Dalang Anggit Laras Prabowo dan Ki Canggih Tri Atmojo yang membawakan lakon “Pendadaran Siswa Sokalima”. Ini adalah bukti nyata regenerasi yang terus berjalan, memastikan tali kekayaan budaya tak terputus.
Wayang: Cermin Kehidupan dan Pencerahan Abadi
Lebih dari sekadar kisah pahlawan dan raksasa, wayang kulit adalah cerminan kehidupan. “Dalam kotak wayang terdapat berbagai watak manusia yang diwakili tokoh-tokoh wayang,” tutur H. Sumanto. Setiap karakter, dari yang bijaksana hingga yang picik, mewakili sisi-sisi kemanusiaan yang universal, menawarkan pelajaran berharga tentang moralitas, etika, dan kehidupan bermasyarakat.
Dengan kekayaan nilai-nilai ini, H. Sumanto optimistis wayang kulit akan mampu bersaing bahkan menggeser dominasi hiburan instan dari media sosial. Baginya, wayang tak hanya menawarkan hiburan, tetapi juga pencerahan dan pembentukan karakter. Upaya pelestarian dan pengenalan wayang kepada generasi muda adalah investasi jangka panjang, menumbuhkan kecintaan mereka pada warisan leluhur yang tak ternilai harganya.
Dengan demikian, lentera budaya wayang kulit akan terus menyala, menerangi jalan bagi generasi mendatang untuk memahami siapa mereka dan dari mana mereka berasal. Apakah Anda pernah merasakan langsung magisnya pementasan wayang kulit? ( bre)