Ini Dia Prosesi Bakar Ogoh – Ogoh Umat Hindhu Di Boyolali

FOKUS JATENG BOYOLALI – Menjelang perayaan hari Raya Nyepi, umat Hindu Desa Ngaru – aru, Banyudono, Boyolali melakukan upacara mecaru dipura Bhuana Suci Saraswati. Rabu,2 Februari 2022.

Prosesi mecaru tersebut dimulai Tepat pukul 17.00. Nyanyian pujian dilantunkan  khidmat oleh umat Hindub yang diiringi suara lonceng. 

Usai prosesi sebahyang dipura itu, umat Hindu didesa setempat mengarak ogoh-ogoh raksasa bertaring keliling desa. 

Ogoh – ogoh raksasa dengan taring yang menjulur keluar mulut itu melambangkan enegi jahat.

Sebelum diarak keliling desa ogoh – ogoh setinggi 4,5 meter itu diperciki air suci oleh pinandita. 

Tepat usai Magrib ogoh – ogoh yang diangkat 20 orang itu diarak keliling desa.

Ditandai dengan nyala obor, arak – arakan ogoh – ogoh bergerak keliling desa sejauh 1 kilometer.

Sebagai puncak upacara mecaru ogoh ogoh yang melambangkan energi jahat tersebut, lalu dibakar.

Heru Kuncoro, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Desa Ngaru-Aru, Banyudono mengatakan, upacara mecaru digelar tiap tahun.

Karena pandemi covid-19 2020 arak arakan ini sempat terhenti.  Upacara mecaru ini adalah untuk menjaga keharmonisan antara manusia dengan  alam semesta.

Kurang lebih 115 umat Hindu di Desa Ngaru-Aru yang mengikuti prosesi upacara ini. 

“Upacara ini juga dikenal dengan Butha Yadya. Sebagai upaya mensinergikan alam dan manusia. Ogoh-ogoh bhuta kala ini sebagai simbol energi jahat yang harus dilebur atau dimusnahkan dengan cara dibakar. 

Patung ogoh-ogoh yang kita arak ini dibuat mandiri oleh umat kami. Kurang lebih menghabiskan dana sekitar Rp 6 juta,” katanya.

Buta kala ini merupahkan simbol energi buruk yang menempel pada diri manusia. 

Pemusnahan tersebut dilakukan agar ritual Butha Yadya berjalan khidmat. Rangkaian acara Hari Raya Nyepi  selanjutnya dengan melaksanakan trubrata menyepi.

Umat Hindu mendekatkan diri pada sang Hyang Widhi dengan menjauhi keramaian dan tidak menyalakan api maupun lampu. 

Bisa dengan berdiam diri dan membaca buku-buku keagamaan. 

“Selama satu hari satu malam, umat akan mendekatkan diri pada sang Hyang Widhi Bisa dengan membaca buku-buku keagamaan agar bisa merenung dan refleksi diri sepenuh hati. 

Di Pura pun juga tidak ada kegiatan lain selain menyepi. Lalu dilanjutkan dengan selamat-selamatan, karena semalaman bertarung dengan energi buruk,” katanya. 

Disisi lain Camat Banyudono sekaligus Ketua Satgas Covid-19, Jarot Purnomo mengatakan upacara macaru ini telah mendapatkan izin dari kecamatan. 

Pelaksanaan mecaru wajib menerapkan protokol kesehatan (Prokes) sesuai dengan intruksi bupati (Inbup) nomor 8 tahun 2022 tentang PPKM level 3. 

Peserta upacara mecaru dibatasi maksimal 25 persen dari kapasitas pura.

“Penganut agama Hindu memang melakukan ritual seperti ini tiap tahunnya. 

Upacara ini memang sudah ada rangkaian kegiatannya. Sebelumnya panitia sudah mengajukan izin. 

Kita memang masuk PPKM level 3, dan telah kita sosialisasikan kegiatan peribadatan. 

Sehingga tetap berjalan asal mengikuti Inbup. Saya lihat prokesnya juga jalan,” ujarnya.  

Jarot mengakui bahwa masyarakat Banyudono menganut beragam agama. 

Salah satunya Hindu. Sehingga masyarakat sudah terbiasa hidup berdampingan. 

Dia memastikan masyarakat agama lain juga menghormati dan mendukung upacara mecaru. 

Terlihat dari antusias masyarakat muslim yang juga datang menonton. 

“Alhamdulillah wilayah Banyudono memang ada juga penganut agama-agama lain dan selalu hidup berdampingan, saling mendukung. 

Banyak juga umat muslim yang datang. Bahkan rangkaian upacara hari Nyepi ini juga berkoordinasi dengan umat lain. 

Semuanya saling menjaga dan menghormati,” pungkasnya.