Pesona tari Bregodo Lembu Banyuanyar dan Kopi Barendo, warisan budaya ikon Banyuanyar Boyolali 

Fokus Jateng-BOYOLALI,-Desa Wisata Banyuanyar Ampel Boyolali kembali menunjukkan potensinya. Selain dikenal terkenal dengan perkebunan kopi dan peternakan sapi perah. Kini, Desa Banyuanyar yang berada di lereng Merbabu ini kembali membranding desa wisata melalui seni budaya.

Dua aktivitas ini bukan hanya menjadi sumber mata pencaharian, tetapi juga membentuk “ritme” keseharian dan budaya kerja masyarakat. Kesadaran bahwa potensi lokal tersebut dapat diolah menjadi kekuatan seni yang khas kemudian menjadi titik awal upaya pengembangan branding desa wisata melalui seni budaya.

“Karena kesenian lokal ini mampu menghadirkan identitas secara lebih menarik, mudah diingat, dan punya kedekatan emosional dengan masyarakatnya sendiri,” kata Kepala Desa Banyuanyar, Komarudin. Sabtu 22 November 2025.

Ia mengemukakan bahwa kesempatan untuk mengembangkan potensi itu datang diantaranya melalui Program Inovasi Seni Nusantara (PISN) 2025, yang diinisiasi oleh Direktorat Penitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DPPM) melalui Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek). Melalui program ini, tim dari ISI Surakarta yang terdiri dari Prajanata Bagiananda Mulia, M.Sn., sebagai ketua, serta Endang Purwasari, M.A., Priaji Iman Prakoso, M.Sn., dan Nandhang Wisnu Pamenang, M.Sn. sebagai anggota menginisiasi pendampingan untuk merumuskan upaya branding berbasis budaya lokal di Banyuanyar.

“Tim ini kemudian menawarkan program bertajuk Gelar Potensi Seni Berbasis Budaya Lokal sebagai langkah konkret untuk menjadikan kesenian sebagai wajah baru desa wisata.”

Dari hasil observasi lapangan dan diskusi bersama warga serta perangkat desa terkait, lanjut Komarudin, tim mendorong dua karya tari yang diambil langsung dari aktivitas masyarakat sehari-hari. Tari pertama adalah tari Bregodo Lembu Banyuanyar, yang terinspirasi dari keseharian para peternak sapi perah. Gerakan tarinya mengekspresikan ketekunan, kedisiplinan, serta kerja sama yang selama ini menjadi kekuatan para peternak.

Tari kedua adalah tari Kopi Barendo, yang menggambarkan semangat para pemetik kopi di Banyuanyar. Gerakannya terinspirasi dari aktivitas panen kopi, mengalir dinamis dan menggambarkan kebersamaan warga.

“Selama ini Banyuanyar baru dikenal sebagai desa susu dan kopi. Tapi lewat seni, dua potensi itu bisa menjadi cerita lain yang menarik dan mudah dikenali wisatawan,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa warga ikut merasa bangga karena kesenian yang dikembangkan bukan sesuatu yang dibuat-buat, melainkan lahir dari realitas hidup mereka sendiri.

“Warga merasa terwakili. Mereka melihat diri mereka tampil di panggung, dan itu membuat mereka lebih terlibat,” lanjutnya.

Ketua Tim pendampingan, Prajanata Bagiananda Mulia, menambahkan bahwa branding desa wisata harus berangkat dari kehidupan lokal yang otentik.

“Setiap desa punya potensi unik. Kalau potensi itu diterjemahkan ke dalam seni, identitasnya akan jauh lebih kuat,” jelasnya.

 

*Banyuanyar Menari*

Menurut Prajanata, pendekatan ini tidak hanya menghasilkan karya seni baru, tetapi juga menguatkan rasa kepemilikan masyarakat terhadap desa wisata yang sedang dibangun.

Sebagai puncak pendampingan, dua tari tersebut akan dipentaskan dalam acara Banyuanyar Menari pada 14 Desember 2025 mendatang di Desa Wisata Kampus Kopi (Kampung Susu dan Kopi), Banyuanyar, Boyolali.

“Acara ini tidak hanya menampilkan karya seni tari, tetapi juga menjadi momentum peluncuran motif batik khas Banyuanyar serta pembukaan spot wisata baru yang dirancang bersama masyarakat,” paparnya .

Melalui acara ini, desa ingin menunjukkan bagaimana seni, budaya, dan potensi ekonomi lokal dapat berpadu dalam satu ruang perayaan.

Pengalaman Banyuanyar menunjukkan bahwa pendekatan seperti ini sangat mungkin diterapkan di desa wisata lain. Selama potensi lokal digali secara serius dan diwujudkan dalam karya seni yang lahir dari kehidupan masyarakat, branding desa wisata akan semakin kuat, berkarakter, dan berkelanjutan. Pendekatan ini bukan sekadar membuat tontonan, tetapi menghidupkan kembali narasi budaya yang sudah lama menjadi bagian dari identitas desa. ( ist/**)