FOKUSJATENG.COM, KARANGANYAR β Di tengah gempuran modernisasi yang serba cepat, masyarakat di Dukuh Siwalan, Desa Munggur, Kecamatan Mojogedang, Karanganyar, masih teguh memegang tradisi. Mereka percaya, bahwa setiap rezeki yang diterima, terutama dari bumi pertiwi, harus disambut dengan rasa syukur yang mendalam. Keyakinan inilah yang menjadi denyut nadi dari Kirab Sedekah Bumi, sebuah tradisi tahunan yang tak lekang oleh waktu.
Setiap usai panen kedua, dukuh Siwalan seolah hidup dalam suka cita. Tua, muda, laki-laki, perempuan, semua tumpah ruah bersatu dalam satu tujuan: memanjatkan puji syukur. Kirab Sedekah Bumi bukan sekadar arak-arakan. Ini adalah sebuah perayaan atas limpahan berkah, sebuah pengakuan bahwa hasil panen bukan semata karena keringat, tetapi juga anugerah dari semesta.
Wujud Rasa Syukur pada Bumi Pertiwi
Pagi itu, aroma ketulusan dan kebersamaan memenuhi udara. Warga berbondong-bondong membawa gunungan hasil tani yang dihias apik. Ada padi yang menguning, singkong yang membesar, jagung yang berisi, serta aneka buah dan sayuran segar. Gunungan ini bukan hanya sekadar tumpukan hasil bumi, melainkan simbol kesejahteraan dan keberkahan yang mereka terima.
“Tradisi ini adalah wujud rasa syukur kami kepada Tuhan atas berkah yang melimpah, terutama dari hasil bumi,” ungkap Andhika Fajar, Sekretaris RW Dukuh Siwalan. Ia melanjutkan, “Ini juga cara kami menjaga keharmonisan antarwarga dan hubungan kami dengan alam.”
Prosesi kirab yang diikuti oleh seluruh elemen masyarakat, termasuk dari lintas agama, menjadi bukti nyata betapa kuatnya ikatan sosial di dukuh ini. Mereka berjalan mengelilingi kampung, memamerkan kekayaan alam yang telah dianugerahkan. Puncaknya, gunungan didoakan bersama sebelum akhirnya dibagikan kepada seluruh warga. Momen ini menjadi saksi bisu, bahwa kebahagiaan sejati terletak pada saling berbagi.
Kearifan Lokal yang Lestari
Lebih dari sekadar ritual, Kirab Sedekah Bumi adalah perwujudan dari nilai-nilai gotong royong dan kearifan lokal (local jenius) yang telah diwariskan turun-temurun. Seluruh rangkaian acara, mulai dari persiapan logistik hingga pentas seni, dikerjakan secara swadaya. Tidak ada sekat, tidak ada perbedaan. Semua melebur menjadi satu untuk melestarikan tradisi nenek moyang.
Di malam hari, suasana makin semarak dengan hiburan rakyat seperti wayang kulit, campursari, atau ketoprak. Pentas seni ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menjadi wadah bagi generasi muda untuk terlibat dan mengenal lebih dekat kebudayaan leluhur mereka.
“Ini bukan sekadar ritual, tapi bagian dari identitas kami sebagai masyarakat agraris,” ujar Andhika. “Rasulan adalah pengingat bahwa bumi harus dihormati, hasil panen tidak semata karena kerja keras, tapi juga karena rahmat Tuhan.”
Ungkapan rasa syukur warga Dukuh Siwalan ini menjadi cerminan bahwa kearifan lokal adalah kekuatan. Mereka menyadari, bahwa hidup tak bisa terlepas dari akar tradisi dan hubungan harmonis dengan alam. Di tengah modernisasi, mereka membuktikan bahwa rasa syukur pada bumi pertiwi adalah warisan tak ternilai yang akan terus menghidupkan jiwa mereka. ( gr/bre)