KEBEBASAN PERS TERANCAM: AJI DESAK USUT TUNTAS TEROR TERHADAP KOLUMNIS DETIK.COM

FOKUSJATENG.COM, NASIONAL – Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) mengecam keras tindakan teror yang dialami oleh YF, kolumnis Detik.com. Insiden ini, yang terjadi setelah artikel kritisnya mengenai penempatan jenderal di jabatan sipil tayang, menjadi bukti nyata ancaman serius terhadap kebebasan pers dan berekspresi di Indonesia. AJI mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus ini dan meminta seluruh pihak terkait untuk bersolidaritas melindungi suara-suara kritis.
Artikel opini YF yang berjudul “Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?” dihapus oleh Detik.com setelah YF mengaku menerima intimidasi yang mengancam keselamatannya. Penghapusan artikel ini, yang disebut atas rekomendasi Dewan Pers dan demi keamanan penulis, justru memperlihatkan betapa rentannya posisi penulis opini dan media dalam menyuarakan kritik.
“AJI mengecam tindakan teror yang dialami oleh YF. Tindakan ini merupakan bentuk nyata pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi dan UU Pers No 40/1999,” tegas Ketua AJI Indonesia, Nany Afrida.
Nany menambahkan bahwa teror semacam ini bukan hanya serangan terhadap individu, melainkan ancaman terhadap kebebasan pers, hak publik atas informasi, dan pilar-pilar demokrasi. Pola intimidasi ini, menurut Nany, menciptakan chilling effect atau efek gentar yang membuat masyarakat takut menyampaikan pendapat dan media enggan membuka ruang bagi suara-suara kritis.
Daftar Gelap Intimidasi yang Kian Panjang
Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Erick Tanjung, menyoroti bahwa teror terhadap YF ini mirip dengan pola-pola represi di era Orde Baru untuk membungkam suara kritis masyarakat. Insiden ini menambah daftar panjang kasus intimidasi terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia, terutama sejak pemerintahan Presiden Prabowo.
“Ini menunjukkan ruang berekspresi di Indonesia semakin menyempit dan menandakan masalah dalam demokrasi kita,” ujar Nany.
Beberapa kasus sebelumnya meliputi penarikan lagu “Bayar, Bayar, bayar” oleh Band Sukatani, siswa di Bogor yang dipaksa membuat video permintaan maaf setelah mengkritik porsi makan siang gratis, hingga mahasiswa ITB yang ditangkap karena membuat meme Presiden. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) seringkali menjadi alat untuk mengancam suara-suara kritis ini.
Desakan Tegas dari AJI
Melihat situasi yang mengkhawatirkan ini, AJI mendesak beberapa pihak untuk segera mengambil langkah konkret:
* Detik.com harus mengambil sikap tegas dalam melindungi penulisnya, memberikan dukungan terbuka, melaporkan kasus teror ini kepada kepolisian, serta menyediakan dukungan hukum dan keamanan bagi YF.
* Dewan Pers diminta untuk mengingatkan kembali pentingnya perlindungan narasumber sebagai bagian dari kebebasan pers kepada seluruh media massa.
* Komnas HAM didesak untuk menginvestigasi kasus ini dan memberikan perlindungan kepada penulis.
* Kapolri dan Kepolisian sebagai aparat penegak hukum harus bertindak cepat dan serius mengusut kasus teror dan intimidasi ini. Pembiaran akan menciptakan preseden buruk yang mengancam kebebasan sipil.
* Presiden Prabowo dituntut untuk menegaskan komitmennya pada demokrasi, serta menghentikan dan menarik kembali penempatan tentara yang menduduki jabatan sipil.
AJI menyerukan kepada seluruh media, organisasi jurnalis, masyarakat sipil, dan publik luas untuk bersolidaritas melawan segala bentuk teror dan upaya pembungkaman. “Suara-suara kritis adalah oksigen bagi demokrasi. Ketika satu suara dibungkam, maka yang terancam bukan hanya orang itu, tetapi kita semua,” pungkas Nany Afrida. ( rls /bre)