FOKUSJATENG.COM, SOLO – Komunitas aktifis pergerakan Surakarta yang tergabung dalam gerakan Solo Melawan Politik Amoral (SEMPAL) menggelar _Performance Art_ berupa prosesi budaya Larung, di pinggir Sungai Bengawan Solo, tepatnya di pintu air Demangan, Kampung Sewu, Jebres, Surakarta ( 3/2) sabtu sore.
Dalam rilisnya yang diterima fokusjateng.com . Performing art tersebut kental dengan nilai nilai lokal jenius budaya jawa. Makna Larung dalam tradisi jawa adalah proses menghanyutkan (larung) benda ke sungai atau laut. Benda tersebut bisa berwujud sesaji sebagai ungkapan syukur, namun bisa juga benda yang dianggap membawa kesialan atau sifat jelek. (_mala_; Jawa)
Dalam _performance art_ kali ini, Larung lebih bermakna menghanyutkan sifat jelek yang membawa kesialan. Sifat jelek pada manusia dengan simbolisasi wayang Lesmana Mandra Kumara yang terbuat dari kardus berukuran 2 x 3 meter ke sungai Bengawan Solo.
Pilihan wayang Lesmana dipilih sesuai kisah pewayangan Mahabharata. Alkisah, Lesmana Mandra Kumara (Lesmana MK) merupakan tokoh wayang yang terlahir dalam keluarga yang terkemuka. Ayahnya, Prabu Duryudana alias Joko Witono adalah seorang raja besar di Hastinapura. Hidupnya serba tercukupi dan terpenuhi. Apapun permintaannya pasti dituruti. Sehari-hari, Lesmana dilayani dan dimanja. Hal ini menjadikan Lesmana sebagai pribadi yang manja, mau menang sendiri, egois dan tidak bisa apa-apa selain mengandalkan bapaknya yang seorang raja.
Lesmana tidak memiliki kesaktian sama halnya dengan Ayah, Paman, dan anggota keluarga lainnya. Hal ini menjadikan hidupnya tergantung pada paman-pamannya, dari bala kurawa. Sebagai anak raja, Lesmana malas belajar sehingga tidak memiliki pengetahuan moral dan etika kerajaan dengan baik. Dengan kemanjaannya sering bersikap congkak, ugal-ugalan dan mau menang sendiri yang membuat rakyat Hastinapura sering di buat menahan marah.
Segala sifat jelek Lesmana MK: manja, mau menang sendiri, ugal-ugalan tak punya moral dan etika kerajaan inilah yang pada sore hari ini disimbolkan untuk dibuang dengan cara dihanyutkan (larung) karena bukan tauladan yang baik bagi generasi muda.
Bagaimana mungkin, mewujudkan kesejahteraan di Hastinapura kalau calon pemimpinnya nanti adalah seorang anak manja, malas belajar serta tak punya moral dan etika kerajaan, mau menang sendiri dan bersikap ugal-ugalan?
Sebagai Gerakan Melawan Politik Amoral, [SEMPAL] dalam _Performance Art_ hari ini bertujuan melakukan Pendidikan Moral pada masyarakat khususnya generasi muda agar tetap menjunjung tinggi nilai moral dan etika serta memiliki hidup yang bermartabat di masa mendatang. Tidak menganggap rendah etika dan moral dengan membenarkan ungkapan “etika _ndasmu_” yang akan membuat martabat hidup manusia dalam bermasyarakat dan bernegara semakin merosot.
Pendidikan Moral ini penting, karena di tengah himpitan kesulitan ekonomi, sikap pragmatis menanggalkan nilai moral dan etika sering menjadi pilihan, dengan pemakluman “terpaksa” demi hidup. Akibatnya akan kehilangan martabat dan sifat kemanusiaan bahwa hidup adalah urusan bersama, bukan menang sendiri dan ugal-ugalan dengan menghalalkan segala cara.
Dengan _Performance Art_ ini, SEMPAL bersama seniman Surakarta berharap masyarakat dan generasi muda bisa memahami prosesi budaya membuang sifat-sifat buruk pada manusia dalam simbol wayang Lesmana. Selanjutnya bisa sadar dan membedakan mana tindakan bermoral dan mana tindakan tak bermoral. Serta mampu tegas memberikan sanksi pada tindakan yang tak bermoral yang merusak tatanan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.
Salah satu aktifis Sempal Abu P Wasono menuturkan gelaran pentas ini adalah bentuk kritik kami pada kondisi sosial politik yang sedang berlangsung pada saat ini. ” harapa n kami gelaran permorming art ini menjadi pengingat kepada para elit agar tetap memegang teguh etoka dan nilai nilar moral dalam berpolitik ” tegasnya. ( rls /bre )