Fokus Jateng-BOYOLALI -Polemik dugaan penggelapan tukar guling tanah kas desa (TKD) Desa Randusari, Kecamatan Teras Kabupaten Boyolali yang melibatkan kepala desa Randusari aktif Satu Budiyono terus bergulir.
Kades tersebut diduga telah memperkaya diri dengan melakukan balik nama TKD atas namanya. Mencuatnya penyerobotan aset milik desa itu terjadi setelah tanah seluas 5000 meter itu akan dilelang oleh Bank milik pemerintah daerah.
“Saya dengar yang bersangkutan tidak mampu mengangsur, sehingga tanah itu akan dilelang oleh pihak bank, kan itu jadi heboh dimasyarakat,” kata salah satu warga. Rabu 3 September 2025.
Informasi dilapangan menyebut, sekitar tahun 1980an, salah satu yayasan membangun sekolah swasta di pinggir jalan Semarang – Solo. Lahan yang digunakan untuk sekolah itu merupakan tanah kas desa Randusari.
Selanjutnya, yayasan menyediakan tanah pengganti untuk tukar guling. Hanya saja saat itu, tanah pengganti itu tak langsung disertifikatkan atas nama pemerintah desa. Pemerintah desa baru mencatat tanah pengganti itu sebagai bondo deso (Aset Desa).
Saat itu, tanah tersebut belum balik nama ke desa. Kemudian saat Satu Budiyono awal menjabat pada 2014, salah satu sertifikat tersebut dibalik nama atas namanya. Lalu, digunakan untuk meminjam uang di bank.
Sementara itu, Kepala Desa (Kades) Randusari, Satu Budiyono, saat dikonfirmasi membenarkan hal itu.
Dia mengaku sengaja mensertifikatkan tanah kas desa atas namanya agar bisa dijadikan agunan bank.
“Waktu itu Randusari ada proses pembangunan gedung Serbaguna dan tidak melibatkan APBDes. Akhirnya kami dengan Mas Sekdes sepakat untuk mengalihkan sertifikat atas nama warga tersebut menjadi atas nama saya dan digunakan untuk agunan bank, untuk mendukung pembangunan gedung serbaguna. Waktu itu saya pinjem sekitar Rp 1 Miliar,” katanya.
Budiyono menegaskan, pembangunan gedung serbaguna yang berada di kompleks kantor desa itu sama sekali tidak menggunakan dana APBDes. Ia memanfaatkan pendapatan asli desa serta bantuan pihak ketiga, terutama dari sejumlah pabrik yang berdiri di wilayah Randusari.
“Total biaya untuk membangun gedung sekitar Rp1,4 miliar, bantuan dari pabrik seingat saya sekitar Rp750 juta. Masih ada kekurangan akhirnya saya ambil risiko seperti itu,” ungkapnya.
Satu mengaku awalnya angsuran ke bank lancar dan tak ada niatnya untuk mengemplang. Namun, saat pandemi Covid-19 melanda, kondisi perekonomiannya menurun. Lalu pada 2022 ia kesulitan membayar dan akhirnya gagal bayar lalu tanah hendak dilelang pada Agustus 2025 lalu.
” Dulu lancar. Waktu Pandemi bisa dibilang bangkrut. Sehingga tidak bisa mengangsur kewajiban,” ujarnnya.
Sedianya, dari informasi pihak bank tanah tersebut harusnya dilelang pada 20 Agustus lalu. Namun, karena dia meminta kelonggaran dan menyatakan kesanggupannya pihak bank akhirnya mau menunda lelang tersebut.
” Dari pihak bank, jumlahnya total Rp1,8 miliar. Terdiri dari pinjaman pokok Rp1,4 miliar dan bunga Rp400 juta. Saya masih dikasih kesempatan untuk melunasi,” tambahnya.
Satu mengaku sejak awal tak ada niatan untuk ngemplang utang. Dia menyebut punya 9 aset yang siap dijual untuk menutup utang plus bunganya. Namun dari 9 aset itu belum ada satu pun yang laku.
” Pokok plus bunga itu sekitar Rp 1,8 M. Dalam waktu dekat ini akan saya lunasi,” ucapnya. (yull/**)