Petani Tembakau di Boyolali resah, hasil panen berkurang akibat cuaca tak menentu

Fokus Jateng-BOYOLALI,- Sejumlah petani tembakau di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, mulai memasuki masa panen mendekati pertengahan Agustus 2025, meskipun di tengah tantangan cuaca yang tidak menentu.
Panen tembakau terlihat di kawasan lereng Merapi- Merbabu di wilayah Kecamatan Cepogo dan Selo. Tembakau tersebut dirajang sendiri dan langsung dijemur.
Hanya saja, karena keterbatasan tempat menjemur serta panas matahari terhalang mendung, mereka tak bisa menjemur tembakau secara maksimal. Sebab jika tembakau tidak kering dalam sehari, maka kualitas tembakau akan turun dan harga jual akan ikut turun.
Untuk itulah, sebagian petani memilih berburu panas matahari di wilayah Boyolali bagian bawah. Seperti dilakukan Jumali (51) petani tembakau asal Desa Samiran, Kecamatan Selo yang rela menjemur tembakau hingga ke Desa Ngaru- aru, Kecamatan Banyudono.
Dia memanfaatkan bahu jalan desa yang sudah dicor semen. Selanjutnya, widig atau anyaman bambu berisi tembakau rajangan diletakkan berjejer pari di bahu jalan tersebut. Diharapkan, terik matahari bisa secepatnya mengeringkan tembakau tersebut.
“Ya biasa seperti ini mas. Kalau panen pilih menjemur ke wilayah bawah,” ujar Jumali, Selasa 12 Agustus 2025.
Ia mengatakan, bahwa pengeringan tembakau ini membutuhkan biaya tidak sedikit. Selain jaraknya mencapai puluhan kilometer, juga biaya operasional selama proses pengeringan. Yakni transportasi, makan, dan lainnya.
“Disana Selo sudah gak ada tempat untuk menjemur kalau jumlahnya banyak. Kalau hanya panen sendiri lima hingga sepuluh widig ya gak masalah. Lha ini hingga 80 widig lebih. Kalau nanti panen raya, pasti jumlah petani yang menjemur tembakau ke wilayah bawah makin bertambah,” paparnya.
Dijelaskan, selain hasil panen sendiri, dia juga membeli tembakau dari petani lain. Hanya saja, dia memilih membeli tembakau dengan cara ditimbang dari pada dengan cara tebasan. Karena, dengan sistem timbangan, hasilnya lebih pasti.
Setelah kering, tembakau disimpan untuk selanjutnya dijual kepada pengepul. “Saya beli harganya Rp 6.500/ kg untuk tembakau basah. Sekarang saya pilih beli dengan cara ditimbang. Dulu beberapa kali menebas, tapi rugi karena timbangan meleset dari perkiraan.”
Senada, Harjo (51) petani lain mengaku, kualitas tembakau panen awal kurang bagus. Karena, beberapa hari terakhir hujan sering turun. Akibatnya, kandungan air di daun tembakau terlalu tinggi. Sehingga, proses pengeringan juga lebih lama.
“Mudah- mudahan hujan terus berkurang sehingga saat panen raya nantinya, kualitas tembakau lebih bagus lagi.”
Selain hasil panen yang berkurang, kata Harjo harga tembakau tahun ini juga turun dibandingkan tahun lalu, akibat kualitas hasil panen menurun dampak dari cuaca yang berubah-ubah. Hal itu memengaruhi masa tanam dan pertumbuhan tanaman tembakau di wilayahnya.
“Kalau dikatakan rugi, ya rugi, karena harganya sangat murah. Tapi kami tetap bersyukur karena masih ada hasilnya,” ujarnya. ( yull/**)