Gamelan Berevolusi di Kaki Gunung Lawu Karanganyar : Dari Kaca Hingga Meditasi

 

FOKUSJATENG.COM, KARANGANYAR- Di tengah derasnya arus digitalisasi, gamelan, salah satu warisan budaya Indonesia, terus membuktikan bahwa ia bukan sekadar relik masa lalu. Gamelan mampu beradaptasi dan menemukan relevansi baru, bahkan berevolusi menjadi bentuk-bentuk yang tak terbayangkan. Semangat inilah yang menjadi napas utama Lawu International Gamelan Festival (LIGF) 2025 yang digelar di Karangpandan, Kabupaten Karanganyar.

Festival yang diinisiasi oleh Yayasan Pusaran Seni Budaya Lawu dan didukung penuh oleh Kebun Hanoman ini mengusung tema Gamelan Evolution. Selama dua hari, dari Sabtu hingga Minggu (9-10/8/2025), acara ini menjadi panggung eksperimen yang memukau, menunjukkan bahwa gamelan adalah warisan budaya yang dinamis dan terus berkembang.

 

Eksperimen Unik dan Inovatif

Lupakan sejenak gamelan tradisional berbahan perunggu. Di LIGF 2025, penonton disuguhkan dengan inovasi yang mencengangkan. Berbagai seniman dari beragam latar belakang menampilkan karya-karya unik seperti gamelan kaca, gamelan keramik, hingga gamelan batu yang menghasilkan komposisi musik kontemporer yang memesona.

Selain itu, festival ini juga memperkenalkan sisi lain gamelan yang lebih spiritual, yaitu gamelan meditatif. Ini adalah medium penyembuhan berbasis suara yang menggabungkan seni dengan terapi. Dengan fokus pada pengalaman spiritual dan ketenangan jiwa, gamelan meditatif menunjukkan fungsi gamelan yang lebih dalam, sebagai sarana untuk mencapai kedamaian batin.

 

Kolaborasi dan Jaringan Seniman

LIGF 2025 menjadi wadah apresiasi bagi para seniman gamelan dari berbagai kalangan. Mulai dari pelajar SD, SMA, sanggar-sanggar seni lokal, musisi karawitan internasional, hingga lembaga perguruan tinggi, semuanya berkolaborasi menciptakan harmoni yang indah.

Hari pertama festival diramaikan oleh 13 grup gamelan di Panggung Puntuk Bulu dan 10 grup di Kebun Hanoman, termasuk penampilan unik dari Gamelan Batu Sragen, Gamelan Kaca Song Meri dari Pacitan, dan Gamelan Keramik Karanganyar.

Pada hari kedua, Kebun Hanoman menjadi pusat pertunjukan dengan delapan grup gamelan lainnya, termasuk penampilan internasional dari Pantcha Indra dari Prancis dan grup unik seperti Gamelan Sampah dari Solo.

Tidak hanya pertunjukan, festival ini juga mengadakan workshop gamelan yang diikuti oleh banyak peserta, termasuk 25 orang dari Prancis. Mereka diperkenalkan pada instrumen dan teknik gamelan, baik secara tradisional maupun inovatif.

 

Harapan untuk Gamelan dan Pariwisata

Ketua Panitia Pelaksana LIGF 2025, Damar Jati, menjelaskan bahwa tema “Gamelan Evolution” tidak hanya sebatas bentuk fisik, melainkan juga inovasi dalam irama dan fungsinya. “Kami berharap setelah acara ini, para seniman dan budayawan bisa saling berjejaring dan berkolaborasi,” ujarnya, menekankan pentingnya keberlanjutan budaya.

Senada dengan itu, Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Kadisparpora) Kabupaten Karanganyar, Hari Purnomo, mengapresiasi penyelenggaraan festival yang baru pertama kali ini. “Kami berharap LIGF bisa menjadi agenda rutin dua kali setahun dan menjadi daya tarik pariwisata yang meningkatkan kunjungan wisatawan ke Karanganyar,” kata Hari.

LIGF 2025 membuktikan bahwa gamelan tidak pernah mati. Melalui inovasi dan kolaborasi, seni tradisional ini akan terus relevan dan memikat, menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas. Gamelan berevolusi, dan di kaki Gunung Lawu, masa depannya tampak semakin cerah. ( gw/bre)