Foto : Wahyu Susilo , Sejarawan dan aktifis buruh Migrant care salah satu deklarator
FIKUSJATENG.COM, NASIONAL – Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) hari ini menyuarakan penolakan keras terhadap proyek ambisius Kementerian Kebudayaan untuk menulis “sejarah resmi” Indonesia. Dalam audiensi dengan Komisi X DPR RI, AKSI, yang beranggotakan sejarawan, aktivis HAM, dan tokoh lintas disiplin, menegaskan bahwa inisiatif ini adalah langkah berbahaya yang berpotensi menjadi alat legitimasi kekuasaan dan upaya “mencuci dosa rezim.”
Ketua AKSI, Marzuki Darusman, menyatakan keprihatinannya setelah Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). “Yang paling berbahaya adalah program ini bisa digunakan untuk mencuci dosa rezim, baik yang berjalan saat ini maupun yang terjadi selama masa Orba, di mana pelanggaran HAM berat masif terjadi,” tegas Marzuki. Ia menekankan bahwa penulisan sejarah resmi oleh negara lazimnya terjadi di negara otoriter, mencontohkan upaya Adolf Hitler di masa lalu dan manipulasi sejarah oleh Presiden Park Geun-hye di Korea Selatan pada 2015 yang berhasil digagalkan oleh penolakan masyarakat.
Sejarawan Asvi Warman Adam, anggota AKSI, menambahkan bahwa proyek ini tidak memenuhi kaidah ilmu pengetahuan sejarah dan justru berpotensi “menghasilkan penggelapan sejarah bangsa.” Ia menegaskan, “Sejarah bukanlah monumen tunggal yang bisa dipahat oleh satu kekuasaan, dihasilkan dari suatu proyek politik, yang diragukan akuntabilitas dan kredibilitas metodenya.” Asvi menyerukan pemerintah untuk fokus menuntaskan 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu demi menciptakan “sejarah baru yang menjadi rujukan publik.”
Jaleswari Pramodhawardani, Kepala Lab45 dan anggota AKSI, menguatkan pandangan bahwa sejarah adalah teks multitafsir, bukan milik tunggal apalagi dimonopoli negara. “Hanya di negara otoriter yang pemerintahnya merasa mendapat mandat dari seluruh bangsa untuk merekonstruksi sejarah sesuai dengan kepentingan kekuasaannya,” ujarnya.
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia dan anggota AKSI, mengecam penggunaan istilah “resmi” dalam konteks sejarah sebagai anakronisme yang menandakan kemunduran intelektual dalam demokrasi. “Sejarah adalah milik publik, termasuk para korban pelanggaran HAM. Mereka berhak untuk mencari, menafsirkan, dan memaknainya secara merdeka tanpa campur tangan negara,” kata Usman. Ia menambahkan bahwa pelabelan ‘sejarah resmi’ akan melahirkan dogmatisme dan menutup pintu bagi interpretasi beragam.
AKSI mendesak pemerintah untuk segera menghentikan proyek ini, yang dinilai sebagai tindakan manipulasi sejarah dan upaya berbahaya untuk mereduksi kebebasan berpikir serta mengebiri daya kritis generasi mendatang. ( rls /bre)