Hari Wayang Dunia: Refleksi Bharatayuddha dalam Pagelaran 30 Jam Nonstop Karanganyar

 

FOKUSJATENG.COM, KARANGANYAR – Peringatan Hari Wayang Dunia dan Nasional yang jatuh setiap tanggal 7 November—tanggal bersejarah penetapan wayang oleh UNESCO sebagai A Masterpiece of The Oral and Intangible Heritage of Humanity pada tahun 2003—dirayakan secara luar biasa di Karanganyar.

Paguyuban Dalang Karanganyar menyuguhkan persembahan utama berupa Pagelaran Wayang Kulit 30 Jam Nonstop. Ini bukan sekadar tontonan maraton, melainkan sebuah epos hidup yang merefleksikan perjuangan habis-habisan memperebutkan hak, persis seperti kisah inti dalam perang Bharatayuddha.

Pertempuran Hak dalam 30 Jam Lakon

Dihelat di kediaman Ketua DPRD Provinsi Jawa Tengah, Sumanto, di Desa Suruh, Tasikmadu, hajatan budaya ini secara sakral membentangkan rangkaian lakon epik Mahabarata dari awal hingga akhir. Selama 30 jam penuh, dari Jumat malam (17/11/2025) pukul 20.00 WIB hingga Minggu dini hari (8/11/2025) pukul 02.00 WIB, panggung seolah menjadi medan Kurusetra, tempat perebutan hak Pandawa atas Astina menemui klimaks.

Perang Bharatayuddha, sebuah metafora peperangan antara kebenaran (Pandawa) dan keserakahan (Kurawa) untuk merebut kembali hak yang dirampas, menjadi benang merah utama pagelaran ini. Hal ini tersirat kuat dalam rangkaian lakon yang dipentaskan secara bergantian oleh 23 dalang terbaik Karanganyar, dari senior hingga dalang muda.

“Diharapkan, kegiatan ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama generasi muda, akan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap lakon wayang, serta memotivasi pelestarian seni budaya Jawa,” ungkap Ketua Paguyuban Dalang Karanganyar ki Sulardiyanto Pringgo Carito, menekankan bahwa di balik hiburan, tersimpan pesan moral yang mendalam.

Dari Gugurnya Tokoh Agung hingga Lahirnya Raja Baru

Rangkaian lakon secara dramatis menarasikan pengorbanan dan konsekuensi dari peperangan yang tak terhindarkan:

  • Prahara Awal: Dimulai dengan lakon Seta Ngraman.
  • Gugurnya Para Ksatria: Panggung berkali-kali menjadi saksi kesedihan melalui lakon-lakon kunci seperti Bisma Gugur, Ranjaban Abimanyu, Gathutkaca Gugur, Karno Tandhing, Duryudana Gugur, hingga akhir tragis para tokoh utama. Kisah-kisah ini menyiratkan betapa mahalnya harga sebuah keadilan dan hak.
  • Akhir Konflik & Regenerasi: Kemenangan Pandawa disusul oleh lakon Pandhawa Boyong, yang kemudian memuncak pada Jumenengan Parikesit (pengangkatan raja baru) dan Pandhawa Muksa (kembalinya para Pandawa ke keabadian).

Komitmen Kuat Pelestarian Warisan Dunia

Ketua DPRD Provinsi Jawa Tengah, Sumanto, yang juga tuan rumah perhelatan ini, memberikan apresiasi tinggi, menegaskan komitmen kolektif dalam menjaga warisan budaya.

“Apresiasi yang tinggi untuk para dalang. Ini adalah wujud nyata upaya kita bersama, para pemimpin daerah dan seniman, dalam menjaga dan memajukan seni wayang,” tegas Sumanto, melihat acara ini sebagai penegasan posisi wayang kulit sebagai pilar kebudayaan nasional.

Pergelaran yang melibatkan nama-nama seperti Ki Sulardiyanto Pringgo Carito, Ki Waluyo Noto Carito, hingga dalang muda Ki Radipta Husain Asrori dan Ki Erwanto ini, telah menarik perhatian publik luas.

Pagelaran Wayang Kulit 30 Jam Nonstop di Karanganyar tidak hanya merayakan Hari Wayang Dunia, tetapi juga berhasil menjadi penanda kuat bahwa seni pedalangan di daerah ini tetap lestari, dinamis, dan relevan dalam menyuarakan nilai-nilai kebenaran, bahkan di tengah hiruk pikuk kehidupan.  ( bre )