Garuda”: Epos Pembebasan dari Relief Kuno Candi Sukuh, Jantung Inspirasi Budaya Karanganyar

 

FOKUSJATENG.COM, KARANGANYAR– Sebuah mahakarya seni lahir dari keheningan ribuan tahun, mengubah pahatan batu kuno di Candi Sukuh, Karanganyar, menjadi tarian yang hidup dan sarat makna. Sendratari “Garuda, demikian judulnya, menjadi kristalisasi ajaran luhur lokal Karanganyar, terlahir dari kolaborasi intensif antara Balai Kolaborasi ISI Solo dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karanganyar.

Tepat di malam perayaan HUT ke-108 Kabupaten Karanganyar, Sabtu (1/11), kisah pengorbanan heroik Sang Garuda dipentaskan perdana. Bukan sekadar pertunjukan, karya berdurasi 45 menit ini adalah hasil riset dan garapan selama satu tahun, dipimpin oleh sutradara Fawatri Kendrawati, melibatkan 12 penari dan 10 musisi yang menghidupkan tokoh-tokoh dalam kisah klasik Garudea.

 

Menghidupkan Pahatan Batu Menjadi Gerak

Kepala Balai Budaya Wilayah X, Manggarsari Atuwati, menjelaskan bahwa Sendratari “Garuda” adalah upaya diseminasi pengembangan cagar budaya yang berangkat dari studi mendalam atas relief Candi Sukuh.

“Studi kami berangkat dari relief yang menggambarkan kisah Garuda, bagaimana pahatan batu itu bisa ditransformasikan menjadi tarian,” ujarnya.

Riset yang dilakukan tidak hanya berhenti pada pembacaan visual relief. Tim peneliti menyelami sejarah, mitologi, dan nilai-nilai luhur yang terkandung di sekitar Candi Sukuh. Dari sana, mereka menemukan intisari ajaran yang dapat diterjemahkan secara puitis ke dalam bahasa gerak dan seni pertunjukan.

 

Perjalanan Spiritual Menuju Kesucian

Inti dari cerita yang dipanggungkan adalah kisah pengorbanan Garuda untuk membebaskan ibunya, Dewi Winata, dari perbudakan yang diakibatkan oleh tipu daya Dewi Kadru. Demi memerdekakan sang ibu, Garuda rela menjalani pencarian air suci Amerta—sebuah perjalanan spiritual yang sarat simbol, dari kekotoran menuju kesucian, dari keterikatan menuju pembebasan.

Sendratari ini seolah menegaskan kembali nilai utama yang terkandung dalam mitologi Garudea yang terpahat di Candi Sukuh: bakti seorang anak kepada orang tua dan perjuangan menuju pembebasan (atau ruwatan), sebuah tema yang kental dalam tradisi spiritual Jawa kuno.

“Tarian ini bukan sekadar hiburan, tapi juga cara baru untuk menikmati dan memahami cagar budaya. Dari Candi Sukuh, kita belajar bagaimana budaya masa lalu bisa menjadi inspirasi karya masa kini,” imbuh Manggarsari, menekankan fungsi karya ini sebagai jembatan masa lalu dan masa kini.

 

Ikon Baru Karanganyar dan Upaya Pelestarian

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Karanganyar, Hari Purnomo, menyambut hangat lahirnya karya ini. Ia melihat Sendratari “Garuda” sebagai bagian penting dari gebyar ekonomi kreatif dan aset berharga bagi daerah.

“Harapan kami, karya ini bisa menjadi ikon baru Karanganyar dan menginspirasi sanggar-sanggar tari untuk terus berkreasi,” kata Hari.

Sebagai bentuk komitmen pelestarian, Pemkab Karanganyar dan ISI Solo berencana menyerahkan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) Sendratari “Garuda” kepada Pemerintah Kabupaten Karanganyar. Selain itu, tahun depan akan digelar pelatihan tari di sanggar-sanggar lokal, memastikan warisan budaya ini terus dihidupkan dan dikembangkan oleh generasi penerus.

Dengan iringan musik yang menggugah, kostum simbolik, dan visualisasi yang kaya, Sendratari “Garuda” berhasil membuktikan bahwa cagar budaya adalah sumber inspirasi yang tak pernah kering. Ia menunjukkan bagaimana nilai tradisi dapat diolah menjadi karya baru yang modern, estetis, dan tetap berakar pada kearifan lokal. ( bre )