Akal Bulus Dana Pokir dan Sosper DPRD

Alif Basuki (Aktivis LSM, Pengamat Kebijakan Publik tinggal di Boyolali) (Doc.alif/Fokusjateng.com)

Oleh : Alif Basuki

Aktivis LSM, Pengamat Kebijakan Publik tinggal di Boyolali

 

Fokus Jateng-BOYOLALI,-Saat ini siklus dalam proses perencanaan penganggaran daerah yang dilakukan oleh eksekutif adalah tahap penyusunan dokumen untuk APBD 2026.  Dalam penyusunan APBD tentunya publik berharap wajah APBD akan lebih berpihak untuk kepentingan masyarakat daripada kepentingan pejabat.

Namun kalau kita berkaca pada wajah APBD pada tahun sebelumnya di daerah-daerah se-Indonesia ada mata kegiatan yang dilakukan oleh para wakil rakyat di daerah atau DPRD dampak kebermanfaatnya kurang begitu dirasakan manfaatnya untuk kepentingan masyarakat, yakni alokasi dana untuk kegiatan pokok-pokok pikiran (Pokir) DRPD dan Kegiatan Sosper (Sosisalisasi Peraturan Daerah) oleh DPRD.

Sebagai contoh saja anggaran untuk Pokir DPRD Kabupaten Boyolali pada APBD tahun 2025 ini dianggarakan oleh DPRD sendiri 23,5 Miliar dan anggaran untuk Sosper 21 M, belum anggaran alokasi lainnya misalkan untuk kunjungan kerja ke luar kota atau luar Provinsi yang jumlahnya puluhan Miliar dengan jumlah anggota DPRD 50 orang.

Bahwa Pokok pokok pikiran (Pokir) DPRD berasal dari kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh anggota DPRD melalui reses, rapat dengar pendapat, dan kunjungan kerja. Aspirasi ini kemudian dirumuskan menjadi pokir dan disampaikan kepada pemerintah daerah untuk dipertimbangkan dalam proses perencanaan pembangunan,

Sementara itu yang dimaksud Sosper DPRD adalah Sosialisasi Peraturan Daerah atau Sosialisasi Peraturan Perundang-undangan Daerah, yang merupakan kegiatan anggota DPRD untuk menjelaskan dan menyosialisasikan produk hukum daerah kepada masyarakat. Tujuan utamanya adalah agar masyarakat memahami peraturan tersebut, memberikan masukan, serta menyerap aspirasi sebelum peraturan disahkan atau sebagai bahan penyempurnaan kebijakan.

Meskipun dua kegiatan ini payung hukum dan legalnya masih menjadi perdebatan para ahli hukum dan pemerhati kebijakan publik, namun oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang banyak menyoroti terkait anggaran untuk dua kegiatan tersebut Pokir dan Sosper bagi DPRD ini yang kerap sekali menimbulkan permasalahan dan terindikasi sebagai ajang konspirasi DPRD dan Pejabat Eksekutif untuk mendapatkan uang dari APBD, sehingga diharapkan oleh KPK pihak eksekutif dalam hal ini Kepala Daerah harus tegas dan berani untuk meniadakan dua kegiatan tersebut, karena tidak ada diharuskan bahwa Pokir dan Sosper ini harus di anggarkan di APBD.

Meskipun menurut para anggota dewan aturan ini legal, implementasi pokir dan Sosper sering kali menjadi perdebatan terkait efektivitasnya dalam menjawab kebutuhan masyarakat dan potensinya untuk disalahgunakan. Pokir yang efektif harus melewati proses verifikasi ketat untuk memastikan usulan tersebut benar-benar bermanfaat dan sesuai dengan prioritas pembangunan daerah.

Adapun dampak negatif dari kegiatan Pokir DPRD adalah Rawan korupsi dan penyimpangan anggaran dengan cara dan modus antara lain yakni pertama akan menjadi ajang konspirasi dan bancakan proyek,  Pokir sering menjadi celah untuk praktik korupsi, di mana anggota dewan bekerja sama dengan pihak-pihak tertentu untuk mengatur proyek. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berulang kali mengingatkan dan menangani kasus-kasus terkait penyalahgunaan dana pokir.

Kedua, Proyek titipan,  anggota dewan sering kali “menitipkan” proyek-proyek tertentu agar mendapat jatah atau keuntungan pribadi dari anggaran pemerintah daerah. Ketiga Ijon dana pokir, beberapa kasus menunjukkan adanya praktik ijon atau pemotongan dana pokir yang melibatkan puluhan oknum, seperti yang dibongkar oleh KPK di Jawa Timur. Keempat dana siluman, terdapat kasus di mana oknum anggota dewan mengkoordinasi pembagian uang yang diduga merupakan fee dari anggaran program pokir.

Selain itu dampak negatif lainnya dari dana Pokir tersebut akan menjadi kesenjangan prioritas dalam pembangunan dimana akan berbenturan antara kepentingan pribadi anggota DPRD  dengan kepentingan publik, dimana  dana pokir berisiko dimanfaatkan untuk mengakomodasi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, alih-alih untuk kebutuhan masyarakat yang lebih luas.

Dan juga dana Pokir akan tumpang tindih dengan program  usulan pokir yang dapat mengakibatkan tumpang tindih program dengan rencana pembangunan daerah yang sudah dirumuskan oleh pemerintah eksekutif. Hal ini menyebabkan proyek tidak selaras dengan program prioritas yang sudah ada.

Sementara itu terkait dampak negatif yang dapat timbul dari dana untuk kegiatan sosialisasi peraturan daerah (Sosper) oleh DPRD meliputi pertama, Penyalahgunaan anggaran daerah. Banyak kritik yang menyatakan bahwa kegiatan Sosper seringkali disalahgunakan dan dianggap sebagai modus untuk menggerogoti Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di beberapa daerah menunjukkan adanya indikasi korupsi dan ketidaksesuaian pertanggungjawaban dana Sosper.

Kedua, Melampaui tugas pokok dan fungsi (tupoksi), ada pandangan dari beberapa pengamat bahwa sosialisasi perda seharusnya menjadi tugas pemerintah daerah, bukan anggota DPRD. Ketika anggota dewan secara langsung melakukan sosialisasi dan membelanjakan sendiri anggarannya, hal ini dapat dianggap menyalahi tupoksi mereka sebagai legislator.

Ketiga, Kampanye terselubung dan politisasi anggaran.  Anggaran Sosper rentan digunakan sebagai sarana untuk kampanye atau deklarasi politik tertentu, terutama menjelang pemilihan umum atau di akhir masa jabatan. Karena peserta sosialisasi biasanya hanya di kalangan kader-kader partainya anggota dewan. Hal ini tentunya mengaburkan tujuan utama sosialisasi perda dan justru berpotensi merusak integritas anggota dewan.

Dalam banyak pandangan para ahli sebenarnya dana Pokir dan Sosper anggota DPRD ini terjadi kontraproduktif dengan kosntitusi. Dimana harfiahnya sudah jelas dalam konstitusi bahwa tugas dan fungsi DPRD yakni fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi budgeting atau anggaran.

Namun dalam banyak hal yang dilakukan oleh DPRD karena ingin mendapatkan keuntungan dari jabatannya mereka mengakali atau menggunakan akal bulusnya supaya bisa mendapatkan dana Pokir dan Sosper dengan membuat regulasi perda atau Peraturan Bupati/ Walikota untuk melegalkan aturannya.

Sehingga kalua kita lihat di Masing-masing pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) memiliki peraturan yang lebih rinci tentang mekanisme penyampaian dan validasi pokir DPRD. Misalnya Peraturan Bupati atau Peraturan Wali Kota yang mengatur proses penginputan pokir ke dalam Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD).

Namun demikian harusnya pihak eksekutif dalam hal ini kepala daerah harus berani tegas dan punya keberanian untuk menolak alokasi dana Pokir dan Soper di APBD, dengan lebih mengalokasikan anggaran untuk kepentngan masyarakat publik langsung secara luas, apalagi saat ini tahun 2026 nanti daerah-daerah banyak  pengurangan Dana Alokasi Umum maupun dana Alokasi Khusus dari pusat. (ist/**)