FOKUSJATENG.COM, KARANGANYAR – Di tengah hiruk pikuk modernitas, sebuah suara dari kedalaman Nusantara kembali bergema. Pada hari Minggu, 20 Juli 2025, bertempat di tanah leluhur Beningsari, Bejen, Karanganyar, keluarga besar Yayasan Sengkelat Jagad Lawu (YSJL) menggelar sebuah pertemuan yang bukan sekadar rapat biasa, melainkan sebuah ikrar dan komitmen kuat untuk membangun jalan pulang bagi jati diri Nusantara.
Pertemuan yang berlangsung sejak pukul 11.30 hingga 14.00 WIB ini dibuka dengan lantunan lagu kebangsaan Indonesia Raya, bukan sebagai formalitas, melainkan sebagai bentuk penghormatan mendalam kepada bumi pertiwi. Pembacaan Pancasila dan Dasa Darma Sengkelat kemudian menguatkan fondasi nilai-nilai luhur yang menjadi kompas perjalanan yayasan.
Prasetyo , salah satu ketua Yayasan Sengkelat Jagad Lawu, menegaskan esensi dari pertemuan ini dalam sebuah wawancara eksklusif. “Kami bukan hanya sedang berkumpul, tapi sedang membangun jalan pulang bagi jati diri Nusantara,” ujarnya penuh keyakinan. “Kami menyanyikan Indonesia Raya sebagai bentuk penghormatan kepada bumi dan langit tempat bangsa ini berpijak, serta membaca Pancasila dan Dasa Darma Sengkelat sebagai pengingat bahwa ada nilai-nilai luhur yang masih bisa menjadi kompas dalam zaman yang telah kehilangan utara.”
Sengkelat Jagad Lawu: Jembatan Masa Lalu dan Masa Depan
Dalam sambutannya, Ketua Yayasan Sengkelat Jagad Lawu menekankan bahwa YSJL bukanlah lembaga biasa. “Ini adalah ruang pertemuan antara masa lalu dan masa depan,” tegasnya. “Sebuah jalan sunyi tempat nilai-nilai kuno diberi napas baru, dan kehidupan modern diberi akar. Kami berkumpul bukan untuk mencari sorotan, melainkan untuk mencari cahaya yang pernah dipadamkan oleh arus zaman.”
Sementara itu ketua pembina YSJL Tony Hatmoko menambahkan, keprihatinan akan lunturnya warisan leluhur menjadi pemicu utama gerakan ini. “Kami mendengar tentang punden-punden yang diratakan, sendang yang terbengkalai, makam kuno yang dibiarkan rusak,” ungkapnya. “Jika situs-situs itu lenyap, maka bukan hanya batu atau tanah yang hilang, tetapi juga ingatan, doa, dan kehormatan terhadap mereka yang lebih dahulu menjaga bumi ini. Tugas kami adalah menjaga napas dari ingatan yang hidup di dalamnya.”
Komitmen Nyata untuk Keberlanjutan dan Pelestarian
Komitmen YSJL tak berhenti pada tataran nilai. Divisi pertanian yayasan telah meluncurkan inisiatif nyata dengan menawarkan bibit dan pendampingan gratis. “Lebih dari itu, kami sedang menanam kesadaran bahwa pangan bukan hanya soal bertahan hidup, tapi juga keberlanjutan hidup itu sendiri,” jelas Tony Hatmoko. “Kita tidak sedang menanam pohon, kita sedang menanam cara berpikir yang bersumber dari keselarasan dengan alam.”
Sebagai langkah konkret lainnya, Cabang Brojomusti resmi diaktifkan dan akta pendiriannya dibacakan dengan penuh kehormatan. Tony Hatmoko menyoroti hal ini sebagai wujud nyata dari kesungguhan gerakan akar rumput. “Pendirian ini adalah manifestasi dari keinginan untuk hidup bersama bumi, bukan di atasnya,” ujarnya.
Menjembatani Spiritual dan Legalitas
Dalam sesi tanya jawab, makna keberadaan yayasan semakin diperjelas. “Yayasan ini bukan dibuat untuk menjadi nama besar, melainkan untuk menjadi jembatan antara pelaku spiritual dan dunia nyata,” tutur Tony Hatmoko. “Kami ingin eksistensi kami sah di mata hukum, agar ajaran yang kami warisi bisa tetap tumbuh tanpa harus sembunyi-sembunyi.”
YSJL menyadari bahwa bangsa ini memiliki banyak luka, baik karena penjajahan, keserakahan, maupun dilupakannya nilai-nilai luhur. “Kami tidak ingin menambal luka itu dengan seremonial semata,” tegas Tony Hatmoko. “Kami ingin menyembuhkannya melalui tindakan nyata: melalui pelestarian, pendidikan nilai, dan penguatan komunitas lokal.”
Rencana besar seperti bedah desa dan survei lokasi sendang yang tidak terawat menjadi bagian dari mosaik besar untuk membentuk potret baru Nusantara, sebuah Nusantara yang ingat akan jati dirinya. “Ketika kita melihat sendang yang kering, itu cermin dari manusia yang mulai kehilangan sumber batinnya. Dan ketika kita melihat makam leluhur yang runtuh, itu pertanda bahwa ingatan kolektif kita mulai lapuk,” jelas Tony Hatmoko. “Tugas kita adalah menjaga itu semua, bukan demi romantisme masa lalu, tetapi demi arah masa depan.”
Rapat ditutup bukan sebagai akhir, melainkan sebagai pembuka langkah panjang. “Perubahan tidak datang dari banyak bicara, melainkan dari keberanian memulai. Dan hari itu, kami telah memulai,” kata Tony Hatmoko. “Dengan kesadaran, dengan kasih, dengan kehendak untuk pulang ke akar, bukan mundur ke belakang, tapi justru untuk melangkah lebih kuat ke depan.”
Tony Hatmoko menutup pernyataannya dengan pesan mendalam, “Sengkelat Jagad Lawu bukan hanya nama. Ia adalah gerakan jiwa, ia adalah roh yang memilih hidup kembali, melalui tubuh-tubuh kita yang bersedia menjadi wadahnya. Kita sedang dipanggil, bukan oleh sejarah atau tanah air semata, tetapi oleh suara dalam diri kita sendiri yang rindu akan kebenaran lama yang belum selesai disuarakan.”
Dengan kerendahan hati dan tanggung jawab yang besar, Yayasan Sengkelat Jagad Lawu berdiri sebagai jalan pulang bagi mereka yang percaya bahwa bangsa tanpa akar adalah bangsa yang mudah tumbang. Mereka tidak muluk-muluk ingin diakui dunia, hanya ingin diterima oleh tanah yang diinjak dan oleh leluhur yang diam-diam masih menjaga. ( bre)