FOKUSJATENG.COM, KARANGANYAR – Wilayah Tawangmangu, Karanganyar, yang selama ini dikenal sebagai magnet pariwisata, menyimpan potensi ekonomi lain yang tak kalah menjanjikan: tanaman hias. Komoditas ini, yang telah lama dikembangkan oleh para petani lokal dengan sentuhan kearifan tradisional, kini didorong untuk menembus pasar internasional. Ketua DPRD Jawa Tengah, Sumanto, menyerukan agar para petani Tawangmangu serius menggarap potensi ekspor ini.
Pernyataan tersebut disampaikan Sumanto dalam Sarasehan Petani Tanaman Hias di Pendopo Desa Nglurah, Kecamatan Tawangmangu, belum lama ini. Desa Nglurah merupakan sentra budidaya tanaman hias seperti Anggrek, Aglonema, dan Monstera, di mana sekitar 90 persen warganya menggantungkan hidup dari sektor ini. Sumanto menyoroti lesunya penjualan di pasar domestik saat ini, yang menjadi momentum tepat untuk melirik peluang ekspor yang menjanjikan harga berlipat ganda.
“Kualitas tanaman hiasnya harus bagus karena untuk dikirim ke luar negeri banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Di sana ketat,” tegas Sumanto, mengingatkan pentingnya standar kualitas yang ketat untuk pasar global.
Pentingnya Kualitas dan Fasilitas Karantina untuk Ekspor
Sumanto juga menyoroti salah satu kendala utama yang dihadapi petani: belum adanya fasilitas karantina tanaman hias. Fasilitas ini krusial untuk memastikan kualitas tanaman sebelum dikirim ke luar negeri. Ia mengajak para petani untuk berkolaborasi membangun fasilitas karantina bersama. Lebih jauh, Sumanto melihat potensi Desa Nglurah untuk menjadi desa wisata sentra tanaman hias, yang akan semakin mendongkrak pendapatan warga seiring popularitas Tawangmangu sebagai destinasi wisata.
Anggota DPRD Kabupaten Karanganyar, Eko Pujianto, mengapresiasi upaya Sumanto yang selama ini aktif memberikan bantuan infrastruktur dan memperjuangkan ekonomi warga.
Dukungan Balai Karantina dan Potensi Ekonomi Berbasis Kearifan Lokal
Potensi besar tanaman hias di Desa Nglurah juga diakui oleh Irsan Nuhantoro dari Balai Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan Jawa Tengah. Ia mendesak warga untuk segera membangun screenhouse atau tempat karantina mandiri demi menjaga kepercayaan pembeli internasional.
“Menjamin kualitas tanaman hias ini terkait kepercayaan. Trust pembeli harus dijaga. Untuk tanaman hias yang dikirim, semut saja nggak boleh masuk,” jelas Irsan, menggambarkan ketatnya standar mutu ekspor.
Irsan mencontohkan nilai fantastis komoditas pertanian di luar negeri, seperti jahe di Jepang yang mencapai Rp350 ribu per kilogram dan manggis di Australia hingga Rp450 ribu per kilogram. Balai Karantina pun siap memberikan pendampingan detail kepada petani, mulai dari proses pengemasan hingga pengiriman, termasuk edukasi untuk mencegah penyakit pada tanaman.
Kearifan Lokal sebagai Fondasi Pertanian Berkelanjutan
Narasi ini semakin menegaskan bahwa pertanian tanaman hias di Tawangmangu bukan hanya sekadar aktivitas ekonomi, melainkan juga cerminan kearifan lokal yang telah diwariskan turun-temurun. Para petani Nglurah telah menguasai seni budidaya tanaman hias, beradaptasi dengan kondisi geografis dan iklim sejuk Tawangmangu, serta mengembangkan varietas unik yang menjadi ciri khas daerah.
Pendekatan pertanian berbasis kearifan lokal ini berarti memanfaatkan pengetahuan tradisional tentang tanah, iklim, siklus alam, dan teknik budidaya yang ramah lingkungan. Ini bukan hanya tentang menghasilkan komoditas, melainkan juga menjaga keseimbangan ekosistem dan melestarikan warisan budaya. Ekspor tanaman hias dari Tawangmangu bukan hanya menjual produk, tetapi juga memperkenalkan kekayaan hayati dan budaya Indonesia ke kancah global. Dengan memadukan potensi ekspor dengan kearifan lokal, pertanian Tawangmangu dapat mencapai keberlanjutan ekonomi sekaligus menjaga identitas budaya yang kuat.
Dengan dukungan penuh dari berbagai pihak, masa depan ekspor tanaman hias dari Tawangmangu tampak cerah, membawa kesejahteraan bagi petani dan mengharumkan nama Indonesia di mata dunia. ( bre/rx)