FOKUSJATENG.COM, KARANGANYAR – Angin malam berhembus lembut di lereng Gunung Lawu, membawa aroma dedaunan basah dan harum kemenyan. Di Padepokan Ismoyo Tunggal, Desa Kemuning, Ngargoyoso, cahaya obor dan lentera memecah kegelapan, menerangi ribuan wajah yang berkumpul dalam suasana penuh makna. Kirab Mapag Padhang Mbulan bertema Merti Gunung kembali digelar, sebuah tradisi yang bukan sekadar perayaan, melainkan refleksi mendalam akan hubungan manusia dengan alam.
Bupati Karanganyar H. Rober Christanto, S.E., M.M. dan Wakil Bupati H. Adhe Eliana, S.E. turut hadir, menjadi saksi bisu kekhidmatan yang terpancar dari setiap prosesi. Tradisi yang telah memasuki tahun kelima ini adalah wujud syukur masyarakat kepada Sang Pencipta atas anugerah alam yang melimpah, sekaligus bentuk pelestarian budaya luhur yang mengakar kuat di lereng Lawu.
Bupati Rober Christanto menyampaikan apresiasinya yang tulus kepada masyarakat Desa Kemuning. “Tradisi seperti ini bukan hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga memperkuat identitas dan jati diri daerah kita,” ujarnya. Beliau berharap kegiatan ini akan terus mewariskan nilai-nilai kearifan lokal kepada generasi muda, serta menjadi daya tarik wisata budaya di Karanganyar.
Merajut Kembali Kebersamaan, Membumi pada Ekologi Tanah Gunung
Di balik kemeriahan Kirab Mapag Padhang Mbulan, terdapat visi yang lebih dalam, seperti yang diungkapkan oleh Ramadhan Isnan, salah seorang penggerak kebudayaan. Menurutnya, event ini memiliki tiga tujuan utama yang saling berkelindan:
Pertama, penguatan guyup. Isnan menjelaskan bahwa event ini menjadi perekat silaturahmi antar dusun yang sebelumnya sempat diwarnai konflik dan ketimpangan sosial. Suasana kebersamaan yang tercipta selama persiapan hingga pelaksanaan kirab menjadi bukti nyata bahwa perbedaan dapat disatukan dalam semangat gotong royong.
Kedua, mengatasi intoleransi, meskipun tergolong lunak, yang sempat muncul terutama terkait dengan tempat ibadah dan ritual. “Hari ini disatukan,” tegas Isnan, menyoroti bagaimana tradisi Mapag Padhang Mbulan berhasil melarutkan sekat-sekat tersebut, menciptakan ruang di mana keberagaman dapat dirayakan bersama.
Ketiga, dan tak kalah penting, adalah tetap berbasis gotong royong untuk kesejahteraan. Semangat bahu-membahu dalam mempersiapkan seluruh rangkaian acara menjadi fondasi bagi kemajuan bersama.
“Jadi, ketiga tujuan yang telah saya narasikan tersebut adalah bentuk refleksi pentingnya eksistensi ekologi tanah gunung sebagai sumber kehidupan” tegas Isnan. Pernyataan ini menegaskan bahwa setiap langkah dalam tradisi Mapag Padhang Mbulan sejatinya adalah pengakuan atas peran vital tanah gunung dalam menopang kehidupan.
Tanah gunung di lereng Lawu bukan sekadar gumpalan bumi; ia adalah penyedia air, penghasil pangan, dan penjaga keanekaragaman hayati. Kekayaan unsur hara yang terkandung di dalamnya menjadi pondasi bagi pertanian yang subur, menopang kehidupan ribuan jiwa. Kerusakan ekologi tanah, seperti erosi atau pencemaran, secara langsung akan mengancam kesejahteraan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada alam. Oleh karena itu, Mapag Padhang Mbulan adalah seruan untuk merawat dan menghormati tanah yang telah memberikan segalanya.
Melalui Kirab Mapag Padhang Mbulan, masyarakat Desa Kemuning tidak hanya merayakan datangnya bulan purnama, melainkan juga merayakan persatuan, toleransi, dan gotong royong. Lebih dari itu, mereka mengingatkan kita semua akan esensi hubungan manusia dengan alam, bahwa kelestarian budaya tak terpisahkan dari kelestarian ekologi tanah gunung yang menjadi sumber kehidupan. Sebuah perayaan yang membumi, mengukuhkan janji untuk terus menjaga warisan leluhur dan merawat bumi demi generasi mendatang. ( bre)