Ironi Prasasti Sarungga, Saksi Bisu Sejarah Boyolali, Mangkrak

Fokus Jateng-BOYOLALI,-Kondisi prasasti Sarungga di Dukuh Wonosegoro, Desa/Kecamatan Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah yang menjadi saksi bisu sejarah Boyolali semakin memprihatinkan.

Pegiat sejarah dari Boyolali Heritage Society (BHS), khawatir struktur dinding batu prasasti bakal semakin terkikis.

“Karena hembusan angin, cuaca panas dan hujan, ya faktor alamlah,” kata Kusworo Rahadyan dari Boyolali Heritage Society (BHS). Minggu 21 April 2024.

Terlebih, sejauh ini belum ada tindak lanjut terkait upaya penyelamatan prasasti yang berada I areal ladang penduduk tersebut.

” Bisa dibilang sangat memprihatinkan sekali,” imbuhnya.

Menurut Kusworo, keberadaan batu tulis Wonosegoro ini memang sangat penting bagi kabupaten Boyolali. Bisa dikatakan prasasti Sarungga ini merupakan latar belakang sejarah dari Boyolali.

“Tapi jangan dihubungkan dengan penetapan hari jadi Boyolali yang jatuh pada 5 Juni, beda banget, prasasti Sarungga ini bertarik Mei 901 Masehi,” ujarnya.

Hanya saja, menjelang usianya yang ke 1.123 pada Mei 2024 nanti, kondisinya masih memprihatinkan. Kajian dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Boyolali baru menghasilkan bekas galian dan tulisan penanda.

“ Upaya perlindungan lebih lanjut dari komunitas tidak bisa berbuat lebih jauh karena kebijakan Pemkab dan instansi terkait.”

Salah satu upaya komunitas yang dilakukan dengan melibatkan karangtaruna Dukuh Wonosegoro, Kecamatan Cepogo dengan menggelar acara “Nititilas Jejak Perdaban Lereng Timur Gunung Merbabu”. Kegiatan tersebut dilakukan dengan swadaya.

“Namun upaya lebih terkait perlindungan permanen belum terwujud. Ya, semoga saka alam masih melindungi dokumen penting ini.”

Sebagaimana dikabarkan, Disdikbud Boyolali pernah melakukan kegiatan ekskavasi pada Situs Batu Tulis (prasasti) Sarungga tersebut pada awal tahun 2023 lalu. Hasilnya, tidak ditemukan adanya bangunan kuno lainnya.

Karena tidak ada temuan bangunan kuno lainnya, maka bakal dibangun atap atau peneduh disana. Tujuannya, bangunan tersebut sebagai pelindung prasasti agar tidak rusak karena sinar matahari maupun dampak air hujan.

Terkait tulisan pada prasasti, Kusworo mengungkapkan, prasasti tersebut bertuliskan, swa sti ?a ka wa r?? t? ta 8 2 3 jye ??a ma sa pa ñca mi ?u kla ha wa so k? la ni ki pa ta p? n ri ?a r? ?ga n? m?…

Jika diterjemahkan artinya adalah, “Selamat tahun ?aka yang telah lalu 823 pada bulan Jyesta tanggal 5 bagian bulan terang. Haryang (hari bersiklus 6), Wagai (hari bersiklus lima), Soma (hari bersiklus tujuh atau Senin), pada saat ini (terdapat) pertapaan di ?ar??ga (yang) hendaklah dinamai …”.

“Penerjemahan melibatkan mahasiswa arkeologi UGM. Prasasti ditulis menggunakan aksara Jawa Kuno. Ada empat baris tulisan, sayangnya bait terakhir sudah tidak bisa dibaca.”

Karena tidak ada temuan bangunan kuno lainnya, maka bakal dibangun atap atau peneduh disana. Tujuannya, bangunan tersebut sebagai pelindung prasasti agar tidak rusak karena sinar matahari maupun dampak air hujan. Namun pembangunan belum terwujud hingga kini.

“Kita menyampaikan laporan kondisinya seperti itu, tapi belum ada umpan balik ya nggak ada jawaban.” (**)