Makam Hastana Luhur Ngindrokilo Tempat Orang Mencari Ketenangan

pintu masuk Makam Hastana Luhur Ngindrokilo di Dukuh Gunung Sari, Kelurahan Kemiri, Kecamatan Mojosongo (doc. mj9/Fokusjateng.com)

FOKUS JATENG-BOYOLALI- Disebelah timur Kebun Raya Indrokilo Boyolali tepatnya di Dukuh Gunung Sari, Kelurahan Kemiri, Kecamatan Mojosongo ada sebuah makam yang cukup dikeramatkan. Konstruksi dan komposisi bangunan makam lebih tinggi daripada komplek makam di sekitarnya. Namanya makam Hastana Luhur Ngindrokilo. Sesuai namanya, di makam ini tempat bersemayam pangeran Notopuro, yakni salah satu putro dalem SISK Susuhunan Pakubuwono X.
“Pangeran Notopuro ini meninggal diusia masih muda dan masih bujang,” kata pegiat sejarah Boyolali, Surodjo.
Dikemukakan, Pangeran Notopuro meninggal usai berburu di kawasan Butuh, dimana kawasan tersebut masih berupa sebuah hutan yang dihuni aneka binatang liar.
“Karena kesukaannya berburu binatang liar, dimana sampai memakan waktu hingga berhari-hari berada di lokasi, akhirnya pada suatu saat sedang berburu, Dia jatuh sakit dan wafat di lokasi ini, saat itu usianya sekitar 30 tahun. Kemudian atas perintah dari sang ayahanda, jenazahnya kemudian dimakamkan di Hastono Luhur,” paparnya.
Ditambahkan, makam tersebut menurut penanggalan Jawa pada 15 Sawal tahun Dal, 1863 (1929 tahun Masehi), pada hari Sabtu Legi. Berdirinya bangunan cungkup makam beratap tajuk dibangun pada hari Rebo Pon, tanggal 18 Dulkangidah 1863, sinengkalan “Uningo Rasaning SariroTunggal”.
“Bangunan makam dikelilingi tembok tinggi dan pintu utama menyerupai bangunan candi bercat warna putih. Pintu masuknya dari sebelah barat. Pintunya itu dari kayu jati yang utuh yang diukir.”
Terpisah, juru kunci makam Hastana Luhur Ngindrokilo, Joko Sriyono mengatakan Pangeran Notopuro adalah salah seorang putro dalem SISK Susuhunan Pakubuwono X. Menurut kisah, beliau gemar menjalani ritual bertapa, berhati dermawan dan gemar berburu di lokasi favorit beliau di sekitar desa tersebut.
“Beliau menolak untuk hidup di lingkup tembok keraton karena misi utamanya menjadi orang yang dekat rakyat kecil dan berhasrat menjadi pertapa. Lokasi pertapaan beliau dinamakan pertapaan Indrokilo yang kini menjadi nama Kebun Raya Indrokilo,” katanya.
Dulu, Sinuwun Pakubuwono X , ketika berziarah di Hastono Luhur selalu melaksanakan ritual nyebar udhik-udhik yakni uang receh yang dicampur dengan ubo rampe berupa bunga setaman. Kemudian juga membagikan hadiah kepada warga sekitar. Menurut Sriyono, kondisi makam belum pernah direhab, namun kondisinya masih sangat bagus. “Kalau saya merawat disini, ya tugasnya itu bersih- bersih lingkungan dan menyapu,” katanya.
Selain itu, Sriyono membenarkan, hingga kini masih banyak warga yang datang untuk berziarah. Mayoritas peziarah justru dari luar daerah.
“Para peziarah itu banyak yang mengatakan, mereka merasakan ketenangan saat berziarah di makam Hastono Luhur ini, bahkan ada yang menginap hingga berhari-hari,”ujarnya. (*)