Seniman Dalang di Boyolali Ngamen Kampung ke Kampung untuk Bertahan Hidup

Dalang di Boyolali rela ngamen di tengah pandemi. (Yulianto/Fokusjateng.com)

FOKUS JATENG-BOYOLALI– Beragam cara dilakukan para seniman untuk dapat bertahan. Sejumlah dalang di Boyolali mengamen dari satu kampung ke kampung lain. Seperti di kediaman Sumarno Lanjar (65) warga Dukuh Dronco, Desa Ringin Larik, Kecamatan Musuk pada Rabu (22/9/2021) sore.

Dalam aksi pentas wayang kulit ini, , ki Dalang Joko Sunarno asal Kecamatan Karanggede, Boyolali. Menggelar wayang climen berdurasi satu jam di teras rumah itu dengan mengambil lakon Wahyu Makutharama.

Dia didukung lima pengrawit yang semuanya juga berprofesi sebagai dalang. Yaitu, Ki Kasim Sabandi Purwosasito asal Klaten; Bambang Wiji Nugroho (Jogja); Joko Sartono (Musuk) dan Ki Wartoyo (Nogosari).

“Kelima pengrawit atau niyaga itu menabuh gender, demung, saron, kendang dan kempul,” kata Ki Joko Sunarno sebelum pentas.

Dia menuturkan, kegiatan mengamen dilakukan akibat dampak pandemi Covid-19 berkepanjangan. Selama dua tahun terakhir, mereka tak bisa pentas atau mendapat tanggapan sehingga tak mendapatkan uang pemasukan.
Terpaksa mereka putar haluan dengan cara aktif mendekati masyarakat agar nanggap pentas wayang. Jadilah, sejumlah dalang untuk ngamen.

“Kami pentas dari rumah ke rumah untuk pentas climen atau singkat durasi satu hingga tiga jam,” ujarnya.

Dijelaskan, ide awal sebenarnya dia lontarkan beberapa waktu lalu. Namun belum mendapat sambutan sesama dalang. Hingga kemudian pandemi terus berlanjut hingga dua tahun. Praktis, para dalang tidak mendapat pemasukan karena tak bisa pentas.

“Hingga teman dalang Ki Kasim punya ide untuk mengamen di bangjo wilayah Klaten. Namun, ide kurang disetujui karena terlalu berisiko bagi keselamatan dalang. Hingga kemudian muncul ajakan menamen ini,” imbuhnya.

Mereka pun tidak menetapkan besaran biaya pentas. “Silahkan saja sesuai kemampuan warga yang nanggap. Yang penting, kami bisa pentas untuk menghibur diri dan masyarakat. Jadi seni wayang masih tetap hiduphidup,” kata Ki Joko.

Ki Wartoyo menambahkan, sudah beberapa kali mendapat tanggapan pentas seperti di Tuntang, Kabupaten Semarang. Setelah di Musuk ini, pentas akan berlanjut ke Sragen dan Karanganyar. “Ada yang membayar Rp 1 juta, namun ada yang hanya Rp 500 ribu. Semua kami terima dengan senang hati. Yang penting halal, bukan hasil colong jupuk,”pungkasnya.