Permintaan Ekspor Kesemek Lereng Merapi Boyolali Sangat Tinggi tapi Terkendala Populasi

Kesemek Lereng Merapi wilayah Boyolali tembus pasar ekspor. (Yulianto/Fokusjateng.com)

FOKUS JATENG-BOYOLALI-Kalangan petani kesemek atau kledung di kaki Gunung Merapi mengaku tak mampu memenuhi permintaan ke luar negeri karena kurangnya populasi pohon serta kualitas kesemek yang harus terjaga sementara permintaan ekspor sangat tinggi.

Kepala Dinas Pertanian (Dispertan) Keabupaten Boyolali, Bambang Jiyanto, menjelaskan pihaknya hanya mampu memenuhi sekitar 60 hingga 70 ton per tahun padahal permintaan kesemek ke luar negeri tidak terbatas. Setiap pohon menghasilkan 4 hingga 5 kuintal buah ini tidak mudah dikembangkan. Hal tersebut karena pohon kesemek itu ditanam pada masa penjajahan Jepang.

“Sekarang kesemek berada di puncak musim penen makanya eksportir datang dan pergi,” ungkap Bambang Jiyanto.

Sejauh ini, kebun kesemek hanya ada di wilayah selo. Sementara petani di kecamatan lainnya yang berudara dingin belum mencoba untuk menanam kesemek karena selain kesulitan mendapatkan bibit, hasil kesemek dianggap tidak memiliki nilai ekonomi tinggi.

Kesemek yang dulu hanya dihargai Rp 6.000 per kg, setelah ramai diburu eksportir kini mencapai Rp 15.000 hingga Rp 25.000 per kg untuk kualitas super, sedangkan kualitas rendah dijual ke pasar tradisional yang seharga Rp 10.000 per kg. Selain dijual ke Solo, Jogja, Bogor, Jakarta hingga Samarinda. Belakangan ini, permintaan kledung bahkan datang dari Singapura dan Malaysia.

“Untuk mendapatkan buah kesemek kualitas super ini cukup sulit karena belum ada teknologi pasca panen yang tepat,” ujar Sriyanto petani sekaligus pengepul kesemek asal Desa Gebyok Selo.

Hampir semua buah kesemek untuk ekspor harus dipetik dengan baik dan tidak bolah cacat sedikitpun atau memar, terlebih cacat akibat tusukan, buah dimasukkan ke dalam kategori kualitas rendah dan tidak bisa diterima di pasar ekspor.

“Utusan perdana menteri Malaysia juga sempat memesan kledung dari Selo dalam jumlah tertentu, tapi kami hanya mampu sekali kirim, untuk selanjutnya kami tidak sanggup memenuhi kriteria yang diinginkan,” ujar Sriyanto.

Kendati demikian, lanjut Sriyanto, petani setempat kini bekerjasama dengan satu yayasan di Bogor. Puluhan ton kesemek asal Selo tersebut kemudian diolah untuk dipasarkan ke sejumlah swalayan dan mall di wilayah ibukota.

“Setelah sampai swalayan harganya mencapai Rp40.000 perkg,”katanya.

Dijelaskan, melonjaknya harga kesemek terjadi karena belakangan ada penemuan bahwa buah kesemek cukup bagus untuk bahan kosmetik. Selain itu, kesemek diolah menjadi aneka makanan olahan dan minuman untuk menaikan stamina.

“Menurut para eksportir kesemek Selo itu gulanya mengkristal, makanya disaat negara Singapura butuh kesemek dalam jumlah besar sementara Selo tidak mampu memenuhi kebutuhan pasarnya,” imbuhnya.

Adapun proses pematangan kesemek, para petani asal Selo juga masih memprosesnya secara tradisional yakni dengan cara direndem kapur. Belum ditemukan cara pematangan dan pengawetan dengan teknologi lain. “Kami belum memiliki teknologi untuk memproses,” ujar Tamami petani asal Samiran.