Mengenal Sentra Produksi Gula Kelapa di Bandung Wonosegoro

Pembuatan gula kelapa di Bandung Wonosegoro Boyolali. (Yulianto/Fokusjateng.com)

FOKUSJATENG – BOYOLALI – Desa Bandung yang berada di Kecamatan Wonosegoro sudah lama menjadi sentra produksi gula kelapa. Karena sejak dahulu, warga masyarakat Bandung telah lihai memproduksi bahan makanan manis yang biasa disebut dengan gula jawa atau gula merah ini.

Gula merah diproduksi dengan bahan baku nira atau air hasil sadapan bunga kelapa atau dalam Bahasa Jawa disebut manggar. Kawasan tersebut pohon kelapa sangat melimpah jadi mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat selain dari bermata pencaharian sebagai petani.

Sebelumnya warga menjual produknya dengan harga rendah kepada tengkulak meski di pasaran harganya cukup tinggi. Untuk itu beberapa warga berniat untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi produsen gula kelapa dalam cetakan tempurung ini dengan membentuk kelompok.

Dengan pendirian Kelompok Tani Wanita (KWT) Manggar Sari di desa tersebut mewadahi warga setempat yang memproduksi gula kepala agar lebih produktif dan terkoordinir. Sejak tahun 2008, KWT ini mampu menaungi sekitar 60 anggota yang menggantungkan penghasilan dengan memproduksi gula kelapa.

Dijelaskan Ketua KWT Manggar Sari, Siti Wadlifah di rumah produksi salah satu anggota kelompoknya pada Kamis (9/4/2020), anggotanya telah mengikuti beberapa pelatihan. Melalui pelatihan, tersebut, wanita yang akrab dipanggil Difah ini mengajak anggotanya untuk meningkatkan harga ekonomis gula kelapa menjadi diversifikasi produk yang lebih berkualitas. Sejak tahun 2014, kelompoknya terus mengembangkan inovasi untuk meningkatkan harga jual gula kelapa. Salah satunya dengan memproduksi gula semut yang merupakan gula merah dalam bentuk bubuk atau kristal kecil mirip semut.

“Inovasi dari gula kelapa menjadi gula semut supaya lebih menarik lagi. Kita mengedepankan kualitas, murni nira tidak pernah dicampuri bahan apapun. Akhirnya gula semut harganya lebih tinggi karena prosesnya [pembuatan] lama, kadar air sedikit jadi tahan lama dan tidak mudah berjamur,” terangnya.

Dengan adanya inovasi gula semut tersebut, pihaknya mendongkrak harga jual gula kelapa cetakan sekitar semula Rp 16.500 per kilogram (kg), gula semut mampu mencapai harga Rp 40.000 setiap kg. Harga tersebut dirasa pantas, karena gula telah melalui proses cukup lama dibanding memproduksi gula kelapa biasa sehingga tekstur menjadi halus serta rasa manis yang dihasilkan aman dikonsumsi setiap hari. Dari keunggulan tersebut, banyak pihak yang mulai melirik gula kelapa dan gula semut produksi Wonosegoro. Selain khas manis gula lebih terasa, untuk khasiat dari gula semut yang bisa bermanfaat bagi kesehatan tubuh.

“Eksisnya kelompok tani di Desa Bandung membawa nama baik Kabupaten Boyolali melalui lomba lomba. Kita sangat bersyukur, selain harga gula meningkat, ada stimulasi bantuan dari Pemerintah Kabupaten Boyolali yaitu baik peremajaan bibit pohon kelapa, obat-obatan hama kelapa, pupuk, alat produksi demi meningkatkan kualitas produksi gula kelapa di Desa Bandung,” imbuhnya.

Dalam sehari, masing-masing anggota kelompoknya bisa memproduksi gula kelapa sekitar tujuh hingga sepuluh kilogram. Untuk pemasaran dilakukan secara langsung ke pedagang di pasar atau pertokoan, maupun dipasarkan melalui daring atau online.

Meski bahan baku melimpah, pihaknya masih kewalahan dengan permintaan pasar atas kebutuhan produknya, terlebih gula semut. Hal tersebut dikarenakan semakin berkurangnya tenaga penyadap nira yang dalam bahasa Jawa disebut penderes yang mengambil nira dari pucuk pohon kelapa. Generasi saat ini diyakini kurang berminat karena takut memanjat pohon kelapa varietas lokal yang sangat tinggi. Untuk Difah berharap pemerintah mampu membantu menyediakan bibit kelapa varietas Genjah Entog yang tingginya antara tiga hingga empat meter saja.

“Kelompok kami berharap diberi bantuan bibit kelapa jenis Genjah Entog yang bisa dipanen oleh kaum ibu tanpa menunggu bapak-bapak atau pria naik pohon kelapa yang tinggi untuk mengambil nira,” pungkas Difah.